Pengamat Sebut Supremasi Sipil-Militer Tak Ada di Konstitusi

Aktivis 1998 sekaligus Kritikus politik, Faizal Assegaf, mengatakan, masyarakat harus mengevaluasi dikotomi penggunaan istilah supremasi sipil dan militer.
"Sebab tidak ada istilah supremasi sipil dan militer dalam konstitusi Indonesia," kata Faizal Assegaf dalam diskusi bertajuk "Dikotomi Sipil-Militer Telaah RUU TNI 2025" yang digagas Partai Negoro di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (18/3/2025).
"Kalau nanti supremasi sipil ini terus menerus dijadikan dasar dengan memberi bayang-bayang seolah-olah elemen lain di bawah sipil maka itu akan berbahaya. Karena itu tidak ditemukan di konstitusi," kata Faizal.
Faizal mengaku khawatir apabila supremasi sipil terus digaungkan untuk dibenturkan dengan militer maka akan sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa.
Sebab, kata Faizal, berpotensi akan muncul supremasi partai politik, supremasi TNI, supremasi Jawa, supremasi Papua, serta supremasi lainnya.
Untuk itu, Faisal menyarankan Koalisi Masyarakat Sipil yang mengritisi revisi UU TNI untuk tidak menggunakan istilah supremasi sipil.
"Saya sebagai orang sipil, saya merasa tidak terwakili. Dari mana ini makhluk-makhluk yang disebut koalisi sipil ini mengritik TNI. Nanti kan ada lagi koalisi rakyat mendukung TNI melawan supremasi sipil, ini kacau," kata Faizal.
Faizal, aktivis reformasi yang berdiri terdepan dalam menurunkan Presiden Soeharto ini juga mengaku miris dengan maraknya korupsi selama 27 tahun ini, pasca reformasi 1998.
Kemudian, Faizal menyoroti ribuan triliun utang luar negeri Indonesia, kasus BLBI, hingga kasus pagar laut yang diduga dilakukan sipil.
Sementara ketika purnawirawan, militer yang memimpin Indonesia yaitu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun, justru pertumbuhan ekonomi tumbuh 6,2% dan demokrasi berjalan stabil.
Faizal juga menanggapi ketakutan kembali lahirnya Dwifungsi ABRI dalam revisi UU TNI. Menurut Faizal, ketakutan itu sama sama sekali tidak berdasar. Ketakutan itu justru dibangun sebagai propaganda terhadap rakyat, dan sangat berbahaya bagi bangsa.
"Jadi saya ingin mengatakan kepada kawan-kawan koalisi masyarakat sipil setop menggunakan sipil untuk menghantam polisi, menghantam tentara menghantam lawan politik," kata Faizal.
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, juga sependapat, Menurut Margarito, dua jabatan yang diemban dalam pemerintahan bukanlah hal baru di Indonesia.
“Ini biasa saja dan masih ada resonasi dengan fungsi dasar mereka. Misalnya pengentasan narkoba, anda jangan melihat pemberantasan narkoba dalam dimensi hukum dan politiknya. Jadi karena itu saya melihat yang terjadi dan yang dibahas dalam RUU TNI ini bagi saya ini hal yang sangat simpel,” kata Margarito.
Margarito yang pernah menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara itu tidak mempermasalahkan TNI Angkatan Darat (AS) mengelola Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dan Angkatan Laut mengelola Badan Keamanan Laut (Bakamla).
“Jujur saja, saya mengatakan dari sudut pandang saya tidak ada jalan kembali ke supermasi militer atau militerisasi, why? Karena tatanan institusi kita tidak memberikan jalan TNI ke arah itu. Jadi di UUD kita tidak berwenang untuk kebijakan-kebijakan politik fundamental,” pungkas Margarito. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved