Dekolonisasi Epistemik dan Reaktualisasi Pancasila

DEKOLONISASI epistemik dan reaktualisasi Pancasila-Trisakti merupakan sebuah kajian kritis tentang mengindonesiakan Indonesia dan memanusiakan manusia dalam konteks Kebangkitan Nasional 2025.
"Kita bukan bangsa tempe, yang bisa digoreng asing seenaknya. Kita adalah rendang -memerlukan proses panjang, tapi bisa mengubah dunia".
Membongkar Paradoks Kebangsaan Kontemporer
Terhitung 117 tahun sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, Indonesia masih belum mampu Merdeka 100 persen. Kata merdeka secara faktual berada dalam posisi yang paradoks. Di satu sisi, bangsa ini secara administratif telah meraih kemerdekaan politik selama hampir delapan dekade, namun di sisi lain, masih saja terjebak dalam berbagai bentuk keterjajahan baru yang lebih subtil namun tak kalah berbahaya. Keterjajahan epistemik, suatu bentuk penjajahan sistem pengetahuan dan pola pikir, telah mengakar dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa, dari dunia pendidikan hingga kebijakan pembangunan.
Fenomena ini dapat dilacak melalui beberapa indikator kritis. Dalam bidang pendidikan, data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2025) menunjukkan bahwa 72 persen literatur wajib di perguruan tinggi masih merujuk pada teori-teori Barat, sementara khazanah pemikiran Nusantara hanya menempati posisi marjinal. Di bidang ekonomi, Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat 76 persen saham industri strategis dikuasai oleh pihak asing, sementara di ranah kebudayaan, Kemendikbud telah mengidentifikasi 11 bahasa daerah yang telah punah dan 19 bahasa daerah lainnya yang terancam punah, dengan laju kepunahan bahasa daerah mencapai dua bahasa setiap tahun.
Diskriminasi sumber pengetahuan dan cara mendapatkan pengetahuan menunjukkan bahwa kita tidak punya kemerdekaan dalam menentukan bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Bahkan untuk berpikir pun kita masih berada dalam keterjajahan epistemik. Kita tidak merdeka sejak dari pikiran!!!
Anatomi Keterjajahan Epistemik
Keterjajahan epistemik di Indonesia memiliki riwayat sejarah yang panjang sejak masa kolonial. Bermula dari sistem pendidikan kolonial (Politik Etis) yang digagas oleh Conrad Theodore van Deventer, lalu pada 17 September 1901 oleh Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta disampaikan dalam pidatonya pada pembukaan Parlemen Belanda dan akhirnya resmi diberlakukan.
Tak bisa dipungkiri, Politik Etis di satu sisi berdampak positif memicu lahirnya kaum muda terpelajar yang menginisiasi berbagai organisasi pergerakan dan perhimpunan yang bersifat daerah maupun nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain.
Namun demikian, Politik Etis sejatinya merupakan hidden agenda yang sejak awal dirancang sebagai sebuah proses social engineering untuk golongan orang-orang kaya atau dari kalangan bangsawan saja sehingga menciptakan kelas birokrat pribumi yang berkompromi terhadap budaya asing dan secara perlahan teralienasi dari akar budayanya sendiri. Mereka ini kemudian kerap disebut sebagai KOMPRADOR yang merupakan singkatan dari (Kompromis, Blandis dan Reformis). Mereka juga Kontra Revolusi dan lebih suka bermain mata dengan Belanda demi kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya.
Tidak hanya itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda ternyata sejak awal memang menyimpan niatan buruk. Akibat kebangkrutan dan krisis ekonomi setelah Perang Napoleon, khususnya akibat Perang Jawa (1825-1830) dan pemisahan Belgia dari Belanda pada 1830. Biaya perang yang besar, ditambah dengan maraknya korupsi dan inefisiensi, menyebabkan kas negara Belanda kosong dan utang menumpuk. Dengan Politik Etis, mereka ingin memperoleh tenaga kerja dengan kualitas SDM tinggi namun dengan upah rendah.
Pasca-kemerdekaan, bentuk-bentuk keterjajahan baru muncul melalui berbagai cara dan pola pendekatan yang dimainkan dengan terstruktur, sistematis dan masif by proxy:
Masa Orde Lama, agresi Belanda yang membonceng NICA masuk ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang, masih memendam nafsu kolonialisme-imperialisme untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai koloninya. Baru pada 27 Desember 1949, setelah melewati berbagai perundingan Belanda akhirnya menerima kemerdekaan Republik Indonesia Serikat (United State of Indonesia) yang masih melibatkan negara-negara boneka bentukan Belanda.
Di masa itu, berbagai upaya untuk menggagalkan Indonesia masih terus berlangsung melalui berbagai pemberontakan yang terjadi di antaranya PKI Madiun, DI-TII dan PRRI Permesta yang menjadi proxy dari kepentingan asing. Puncaknya adalah peristiwa penggulingan Soekarno oleh CIA yang melibatkan agen-agen lokal sebagaimana yang tertulis dalam surat dari Duta Besar Britania Raya untuk Indonesia, Andrew Gilchrist, yang ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri Britania Raya. Dokumen ini merujuk pada rencana gabungan AS-Britania Raya untuk intervensi militer di Indonesia.
Masa Orde Baru, pertama, hegemoni akademik yang ditandai oleh dominasi paradigma pemikiran Barat dalam kurikulum pendidikan. Teori-teori pembangunan linear ala Rostow yang disyiarkan oleh para “nabi” Mafia Berkeley sangat diimani oleh Orde Baru sebagai dasar dari kebijakan pembangunan yang dirumuskan dalam Trilogi Pembangunan. Namun ironisnya, pemikiran bernas Mohammad Hatta tentang ekonomi kerakyatan tak lebih sekadar hanya menjadi penghias catatan kaki. Di bidang humaniora, filsafat barat mendapat porsi 70 persen dalam kurikulum, sementara sistem pemikiran Nusantara berbasis pengetahuan vernakular seperti halnya pemikiran Ki Hajar Dewantara serta berbagai ajaran, falsafah dan kearifan lokal yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara justru tidak pernah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Kedua, kolonisasi digital di era revolusi industri 4.0. Platform-platform digital global tidak hanya membentuk preferensi budaya generasi muda, tetapi juga menciptakan ketergantungan struktural. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (2025) menunjukkan bahwa 68 persen konten viral berasal dari luar negeri, sementara algoritma platform asing secara sistematis memarjinalkan konten lokal. Mesin pencarian Google dan berkembangnya AI menjadi berhala baru Yang Maha Tahu sebagai tempat bertanya untuk menemukan jawaban atas berbagai masalah.
Ketiga, imperialisme budaya semakin mendorong terjadinya alienasi kultural. Proses modernisasi telah membuat bangsa ini tercerabut dari akarnya. Bahkan nilai-nilai luhur seperti gotong royong tak lebih hanya dipahami secara dangkal, pragmatis dan transaksional. Sementara kesenian tradisional kian terpinggirkan dan tak lagi punya panggung utama dalam ekosistem kreatif yang telah diakuisisi oleh K-Pop. Fenomena ini mengingatkan kita pada konsep "kekerasan epistemik" Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth (1961), suatu bentuk kekerasan yang tidak hanya merampas tanah air, tetapi juga cara berpikir dan keberadaan kultural suatu bangsa.
Keempat, kleptokrasi, plutokrasi dan mobokrasi politik mendominasi praktik demokrasi yang dikendalikan oleh oligarki dan politik dinasti melahirkan neo-feodalisme dan politik transaksional yang berbiaya tinggi. Pemilu menjadi Pesta Demokrasi bagi elit politik selama periode lima tahun kekuasaan mereka, tapi bagi rakyat hanya pesta sehari seharga suara yang mereka jual. Selebihnya hanya bagi-bagi kue kekuasaan dan korupsi bancakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran elit beserta seluruh kroni-kroninya. Demokrasi pastinya bukan lagi ejawantah dari “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Kelima, kapitalisme pasar bebas (laissez-faire) dengan berbagai capaian ekonomi yang diukur dengan berbagai indeks berbasis pada Ekonomi Neo-liberal, sama sekali tidak tunduk pada Panca Sila --“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”--, TRISAKTI dan Pasal 33 UUD 1945. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama Oligarki berdasarkan asas Dinasti dan Nepotisme. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Oligarki. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Oligarki dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Oligarki dan Dinasti Politik beserta seluruh kroninya. Itu semua terjadi berkat Amandemen Keempat UUD 1945 yang berhasil menambahkan ayat 4 yang berbunyi, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Pancasila sebagai Jalan Pembebasan Epistemologis
"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Dalam menghadapi tantangan tersebut, Pancasila menjadi kunci jawaban sekaligus kerangka epistemologis yang sejak lama telah ditinggalkan dalam proses bertanah air, berbangsa dan bernegara. Setiap sila dalam Pancasila, maupun secara satu kesatuan, mengandung jalan pembebasan epistimologis terhadap berbagai bentuk keterjajahan kontemporer.
Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, dengan konsep "Ketuhanan yang Berkebudayaan", merupakan antidote terhadap racun sekularisme radikal maupun fundamentalisme agama. Berbeda dengan dikotomi sakral-profan dalam tradisi Barat, sila pertama Pancasila menawarkan paradigma yang tidak memisahkan antara spiritualitas dan rasionalitas. Terdapat relasionalitas yang harmonis dalam pola hubungan triangulasi antara Tuhan-Manusia-Alam. Dalam konteks kebangkitan nasional, prinsip ini relevan untuk mengkritik kecenderungan reduksionisme dalam ilmu pengetahuan yang mengabaikan dimensi transendental dan menempatkan spiritualitas dan rasionalitas dalam posisi dikotomi.
Sila ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ menjadi landasan untuk melawan berbagai bentuk dehumanisasi di era digital. Fenomena "robotisasi" pekerja dalam platform ekonomi digital, misalnya, menunjukkan bagaimana logika efisiensi berbasis kapital kerapkali menistakan daulat, harkat dan martabat manusia. Tatkala teknologi kecerdasan buatan mulai menggantikan peran manusia, sila ini tampil menjadi jangkar dalam ombang-ambing gelombang kemajuan teknologi agar tetap bernisbat pada nilai-nilai kemanusiaan. Adil sejak dari pikiran, untuk senantiasa mengimani keseimbangan dan kesetimbangan antara hak asasi dan kewajiban asasi manusia demi menjaga peradaban yang beradab, untuk menolak segala praktik kebiadaban.
Sila ‘Persatuan Indonesia’ menghadapi ujian berat di tengah terjadinya pergeseran geopolitik, geoekonomi dan geostrategi (global shifting) dengan semakin meningkatnya konflik antar negara baik dalam bentuk perang militer maupun perang ekonomi melalui pemberlakuan tarif impor secara sepihak. Jumlah penduduk dunia yang telah mencapai lebih dari 8 miliar orang, menuntut setiap negara untuk mendahulukan kepentingan nasionalnya (national interest) di atas kepentingan internasional. Dalam konteks ini, kehadiran sila Persatuan Indonesia menjadi signifikan untuk mereaktualisasi nilai kebangsaan sebagai common platform yang dapat mempersatukan berbagai kelompok dalam bingkai kebangsaan yang inklusif dalam menghadapi ancaman pergeseran global.
Sila ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan’ juga menghadapi tantangan di tengah meningkatnya polarisasi sosial politik. Survei Lembaga Survei Indonesia (2025) mencatat peningkatan polarisasi sebesar 40 persen dalam lima tahun terakhir. Ini membuktikan bahwa praktik demokrasi yang berlangsung tidak lebih hanya pseudo-demokrasi. Suatu praktik demokrasi elektoral-prosedural yang penuh tipu daya konstitusional hingga melahirkan tirani mayoritas. Suatu praktik demokrasi yang sama sekali jauh dari demokrasi substansial-esensial seperti yang diamanatkan dalam sila ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan’ dimana Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, bukan satu negara untuk satu keluarga, tetapi satu negara “semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu”.
Sila ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ menjadi fondasi dasar dari praktik pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 untuk memastikan terciptanya TRISAKTI: Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam bidang ekonomi, dan Berkepribadian dalam berkebudayaan. Suatu praktik demokrasi yang tidak hanya menjalankan demokrasi politik, namun juga demokrasi ekonomi dimana setiap nyawa manusia manusia dan segenap makhluk hidup ciptaan Tuhan memiliki hak hidup yang jauh lebih mulia ketimbang modal-kapital dan pangkat-jabatan sehebat apapun. Oleh sebab itu, ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ sebagai rumusan dari demokrasi ekonomi juga harus dipahami sebagai ekosofi (ecosophy) dimana ekonomi (oikos nomos) dan ekologi (oikos logos) diletakkan seperti dua sisi berbeda dari sekeping uang. Tidak boleh ada lagi “exploitation de l'homme par l'homme, exploitation de la’nation par l’nation.” Dan tidak cukup hanya itu, tetapi juga tidak boleh ada lagi “exploitation de la nature par l'homme!!!
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan
© Copyright 2025, All Rights Reserved