Literasi Digital, Mendesak Cegah Eksploitasi Anak

Kasus-kasus kejahatan digital terhadap anak, seperti cyberbullying dan eksploitasi anak di ranah digital terus meningkat. Bukan hanya dalam angka statistik, tapi telah dialami oleh banyak keluarga.
Kondisi ini yang membuat Pegiat Literasi Digital, Rita Nurlita Setia yang juga seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Komunikasi dan Informatika Kominfo merasa bahwa kebutuhan untuk melakukan literasi digital menjadi sebuah kebutuhan mendesak.
Menurut Rita, literasi digital bukan hanya kebutuhan bagi anak-anak, tetapi juga bagi orang tua dan itu bukan pilihan tapi kebutuhan mendesak yang harus segera dilakukan.
Berangkat dari keprihatinan itu, Rita yang awalnya bergerak sendiri akhirnya mendirikan Komunitas Internet Sahabat Anak (KISA) yang kemudian berkembang menjadi Keluarga Digital Indonesia (KUGI Indonesia). Dia menyadari membangun kesadaran digital harus menjadi pekerjaan Bersama.
Rita bermimpi bisa membangun ekosistem digital yang lebih aman dan sehat bagi anak-anak.
Endah Lismartini dari www.politikindonesia.id mewawancarai Rita Nurlita Setia tentang pentingnya menciptakan ekosistem digital yang aman buat anak-anak.
Berikut petikannya:
Apa hal awal yang membuat Anda tergerak untuk melakukan kampanye digital safety untuk anak-anak?
Awalnya, saya merasa gelisah melihat semakin banyaknya kasus anak-anak yang terjebak dalam dampak negatif internet—dari kecanduan gadget, cyberbullying, paparan konten pornografi, hingga eksploitasi digital. Saya sering membaca berita tentang anak-anak yang tertipu di dunia maya, mengalami kekerasan daring, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri karena tekanan di media sosial. Hal-hal ini membuat saya khawatir, karena di satu sisi, kita ingin anak-anak tumbuh menjadi individu yang kreatif, percaya diri, dan fasih menggunakan teknologi. Namun di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap risiko yang ada.
Saya menyadari bahwa melarang anak-anak menggunakan internet bukanlah solusi. Dunia mereka saat ini memang digital, dan yang bisa kita lakukan sebagai orang tua atau pendamping adalah memastikan mereka memiliki bekal yang cukup untuk menjelajahinya dengan aman. Dari kegelisahan itulah, saya mulai berpikir bahwa keamanan digital bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi harus menjadi gerakan bersama. Saya ingin anak-anak tetap bisa memanfaatkan internet untuk belajar dan berkembang, tetapi dengan pemahaman yang cukup tentang rambu-rambu yang perlu mereka patuhi.
Karena itu, saya mulai terlibat dalam kampanye literasi digital. Bukan dalam posisi merasa lebih tahu dari orang tua lain, tetapi sebagai bagian dari komunitas yang ingin saling berbagi pengalaman dan mencari solusi bersama. Saya ingin membantu keluarga memahami bahwa pendampingan yang tepat dan komunikasi terbuka adalah kunci agar anak-anak tetap bisa menikmati manfaat internet tapi bisa meminimalisir atau terbebas dari dampak negatif yang menyertainya.
Keresahan apa yang dirasakan sehingga Anda merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengingatkan anak-anak dan orangtua tentang perlunya keamanan digital bagi anak-anak?
Salah satu hal yang paling mengkhawatirkan bagi saya adalah masih adanya orang tua yang belum menyadari bahwa anak-anak mereka bisa terpapar berbagai risiko digital tanpa disengaja. Banyak yang berpikir bahwa selama anak hanya menggunakan internet untuk bermain atau mengerjakan tugas sekolah, maka semuanya aman. Padahal, di dunia maya, ancaman sering kali tidak terlihat secara langsung. Anak bisa saja tanpa sadar berinteraksi dengan orang asing di game daring, menerima pesan yang tidak pantas di media sosial, atau mengklik tautan yang mengarah pada konten berbahaya.
Kasus-kasus seperti cyberbullying dan eksploitasi anak di ranah digital terus meningkat, dan ini bukan hanya sekadar angka statistik, tetapi kenyataan yang dialami banyak keluarga. Saya sering mendapat cerita dari orang tua yang kaget setelah menemukan anaknya mengalami perundungan di media sosial atau terlibat dalam interaksi daring yang tidak sehat. Dari sinilah saya merasa bahwa literasi digital bukan hanya kebutuhan bagi anak-anak, tetapi juga bagi orang tua agar mereka bisa lebih siap dalam mendampingi anak-anaknya di dunia digital yang serba cepat dan dinamis ini.
Sudah berapa lama melakukan kegiatan ini?
Saya telah aktif dalam edukasi literasi digital sejak tahun 2012, dan perjalanan ini terus berkembang hingga sekarang. Awalnya, saya bersama tim Mobile Community Access Point (MCAP) di Diskominfo Kota Depok memberikan pelatihan komputer ke sekolah-sekolah. Dari interaksi dengan para siswa dan guru, saya menyadari bahwa tantangan terbesar bukan hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana menggunakannya dengan aman dan bertanggung jawab.
Pada tahun 2015 dan 2017, saya menulis novel Terjebak di Dunia Maya dan komik Anak Hebat di Era Digital, yang bertujuan untuk mengenalkan konsep literasi digital kepada anak-anak dengan cara yang lebih menyenangkan. Buku ini mendapat respons yang baik dari para orang tua dan guru, dan banyak dari mereka yang mulai berkonsultasi terkait dampak internet terhadap anak-anak mereka. Hal ini semakin memotivasi saya untuk memperluas kampanye literasi digital melalui seminar, workshop, dan pembentukan komunitas.
Seiring waktu, saya bersama beberapa rekan mendirikan Komunitas Internet Sahabat Anak (KISA) yang kemudian berkembang menjadi Keluarga Digital Indonesia (KUGI Indonesia). Kami bekerja sama dengan berbagai organisasi lokal, nasional, dan internasional dalam upaya membangun ekosistem digital yang lebih aman dan sehat bagi anak-anak.
Sebenarnya bahaya apa saja yang muncul di dunia maya, yang bisa membahayakan anak-anak?
Ancaman di dunia digital sangat luas dan sering kali tidak langsung terlihat. Salah satu ancaman terbesar adalah paparan konten yang tidak pantas, seperti pornografi dan kekerasan, yang bisa diakses anak-anak tanpa sengaja. Ada juga cyberbullying, di mana anak-anak bisa menjadi korban perundungan di media sosial, grup obrolan, atau forum daring. Ini bisa berdampak besar pada kesehatan mental mereka, menyebabkan kecemasan, depresi, bahkan dalam beberapa kasus, keinginan untuk mengisolasi diri atau lebih parah lagi.
Selain itu, kecanduan gadget dan media sosial juga menjadi tantangan besar bagi keluarga modern. Banyak anak yang kesulitan mengontrol waktu layar mereka hingga mengganggu tidur, belajar, dan interaksi sosial mereka di dunia nyata. Masalah lainnya adalah keamanan data dan privasi, di mana anak-anak sering kali tidak menyadari bahwa informasi yang mereka bagikan bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Yang paling mengkhawatirkan adalah eksploitasi anak di dunia maya, di mana predator digital memanfaatkan keluguan anak-anak untuk membangun kepercayaan dan kemudian memanipulasi mereka. Banyak kasus di mana anak-anak tanpa sadar memberikan informasi pribadi, mengunggah foto, atau bahkan melakukan sesuatu yang diminta oleh pelaku tanpa menyadari konsekuensinya. Hal ini menjadi bukti bahwa pendampingan orang tua dalam dunia digital sangat penting untuk memastikan anak-anak bisa menjelajah internet dengan aman.
Hal apa saja yang sudah dilakukan untuk membuat orang tua memiliki kesadaran lebih untuk menjaga anak-anaknya dari bahaya dunia maya?
Selain melalui berbagai tulisan di buku dan artikel, untuk membangun kesadaran orang tua supaya lebih menjaga anak-anaknya di dunia digital, saya bersama teman-teman di Kugi Indonesia maupun Diskominfo Kota Depok melakukan kampanye internet sehat atau literasi digital kepada berbagai kalangan, termasuk orang tua. Kegiatan-kegiatan ini berupa seminar, workshop, dan pelatihan yang diperlukan oleh orang tua supaya bisa lebih menjaga anak-anaknya di ruang digital. Sebagai contoh, kamu pernah membuat pelatihan tentang parental control untuk para orang tua juga berbagai seminar digital parenting lainnya. Kami juga memberikan pelatihan untuk anak-anak dan pelaja dimana pelatihan ini diharapkan bisa meningkatkan keterampilan digital untuk pelajar dengan menggelar pelatihan animasi, editing video, storytelling, digital parenting dan sebagainya baik secara daring maupun luring.
Selain itu, saya juga berjejaring dengan berbagai stakeholder baik di tingkat lokal maupun nasional seperti Siberkreasi dan Indonesia Child Online Protection (ID-COP) untuk bersama-sama berkontribusi bergerak melakukan kampanye dan mendorong regulasi untuk membangun ekosistem digital yang sehat bagi anak-anak.
Sebagian orang tua, dengan alasan supaya anak-anak tenang, memberikan gadgetnya. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Memberikan gadget pada anak-anak supaya mereka tenang, merupakan fenomena yang sangat umum terjadi, terutama di era digital saat ini di mana teknologi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak bisa dimungkiri, banyak orang tua yang merasa bahwa memberikan gadget kepada anak bisa menjadi solusi cepat agar mereka tetap tenang saat orang tua sibuk bekerja, mengurus rumah, atau menyelesaikan tugas lainnya.
Namun, jika dilihat dari perspektif keamanan digital anak, kebiasaan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, gadget memang bisa menjadi alat edukatif dan hiburan yang bermanfaat, tetapi di sisi lain, jika diberikan tanpa batasan yang jelas atau tanpa pendampingan, justru bisa membuka pintu ke berbagai risiko digital. Anak-anak yang dibiarkan menggunakan gadget secara bebas bisa lebih rentan terhadap dampak buruk internet seperti terpapar konten tidak pantas, cyberbullying, kecanduan, hingga eksploitasi digital.
Yang perlu dipahami adalah bahwa memberikan gadget tidak salah, tetapi harus diiringi dengan aturan dan pendampingan. Orang tua perlu menetapkan batasan waktu penggunaan, memastikan konten yang diakses sesuai dengan usia anak, serta membangun komunikasi yang terbuka agar anak merasa nyaman berbicara ketika menghadapi sesuatu yang membingungkan atau mencurigakan di internet.
Selain itu, orang tua juga perlu menyadari bahwa gadget seharusnya bukan pengganti interaksi langsung dan perhatian. Jika anak terlalu sering diberikan gadget sebagai solusi agar mereka diam atau tidak rewel, mereka bisa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosionalnya dengan baik.
Jadi, saat memberikan gadget pada anak-anak, sebaiknya tujuannya bukan supaya anak-anak tenang dan tidak mengganggu aktivitas orang tuanya. Tapi kta sebagai orang tua harus menetapkan aturan penggunaan yang jelas. Misalnya, menetapkan waktu tertentu untuk bermain gadget dan memilih konten yang sesuai dengan usia anak. Dengan begitu, anak tetap bisa menikmati teknologi, tetapi tetap dalam batas yang aman.
Sekarang anak-anak, bahkan di usia bayi sudah dikenalkan dengan gadget. Bagaimana menurut Anda?
Saya rasa ini adalah fenomena yang tidak bisa dihindari di era digital seperti sekarang. Teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan bagi anak-anak yang masih sangat kecil. Banyak orang tua yang mengenalkan gawai sejak dini, entah untuk hiburan, menenangkan anak saat rewel, atau bahkan sebagai sarana edukasi.
Tapi yang perlu kita sadari bersama, penggunaan gawai pada anak, terutama bayi dan balita, harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan batasan yang jelas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan layar berlebihan di usia dini dapat memengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak. Anak-anak yang terlalu sering menatap layar bisa mengalami keterlambatan dalam berbicara, kurang fokus, hingga sulit berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Masalahnya, banyak orang tua yang memberikan gawai tanpa pendampingan dan tanpa aturan. Akibatnya, anak-anak tidak hanya menjadi kecanduan layar, tetapi juga rentan terpapar konten yang tidak sesuai usia mereka. Ada anak yang sudah terbiasa menggulir layar tanpa henti sejak kecil, sehingga ketika mereka tumbuh lebih besar, mereka cenderung lebih sulit mengendalikan diri terhadap teknologi.
Bukan berarti anak-anak harus dijauhkan sepenuhnya dari teknologi, tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan usia dan kebutuhan perkembangan mereka. Untuk anak di bawah dua tahun, misalnya, sebaiknya lebih banyak bermain dengan benda nyata, berinteraksi dengan orang tua, dan mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Untuk anak yang lebih besar, teknologi bisa dikenalkan secara bertahap, dengan durasi dan jenis konten yang diawasi oleh orang tua.
Yang terpenting adalah bagaimana kita mengelola penggunaan gawai ini dengan bijak. Teknologi bisa menjadi alat yang bermanfaat jika digunakan dengan cara yang tepat, tetapi tanpa batasan yang jelas, justru bisa berdampak negatif bagi perkembangan anak.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk tidak hanya memberikan gawai, tetapi juga menjadi bagian dari pengalaman digital anak, mendampingi mereka, serta mengajarkan mereka bagaimana menggunakan teknologi dengan sehat dan bertanggung jawab.
Dalam proses melakukan kampanye digital safety ini, bagaimana Anda bergerak? apa saja yang sudah dilakukan?
Saya bergerak melalui berbagai jalur, baik secara langsung maupun daring. Saya aktif dalam seminar, workshop, dan diskusi komunitas untuk meningkatkan kesadaran tentang literasi digital, terutama bagi orang tua dan anak-anak. Selain itu, saya memanfaatkan media sosial dengan menulis artikel, membuat infografis, dan video edukasi agar pesan tentang keamanan digital lebih mudah dipahami dan diakses lebih luas.
Kolaborasi juga menjadi bagian penting dalam gerakan ini. Saya bekerja sama dengan berbagai komunitas, pendidik, dan profesional di bidang literasi digital untuk memperbarui wawasan dan strategi pendampingan anak di dunia digital. Selain itu, saya berjejaring dengan organisasi seperti Siberkreasi dan Indonesia Child Online Protection (ID-COP) untuk bersama-sama memperkuat regulasi dan membangun ekosistem digital yang lebih aman bagi anak-anak.
Melalui kombinasi edukasi, advokasi, dan kolaborasi, saya berusaha memastikan bahwa literasi digital bukan sekadar teori, tetapi bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga anak-anak dapat menggunakan teknologi dengan aman, sehat, dan produktif.
Pernah berkolaborasi dengan siapa saja atau lembaga apa?
Saya telah berkolaborasi dengan berbagai pihak selama lebih dari 10 tahun ini mulai dari berbagai komunitas, lembaga pendidikan seperti sekolah dan kampus, serta instansi pemerintahan dan sektor swasta. Saya juga banyak bekerja sama dengan komunitas literasi digital dan parenting yang memiliki visi yang sama dalam melindungi anak-anak di dunia digital.
Apa hal yang membuat Anda terus bertahan melakukan kampanye keamanan digital bagi anak-anak?
Saya bertahan karena saya melihat bahwa tantangan di dunia digital terus berkembang, dan anak-anak selalu menjadi kelompok yang paling rentan. Setiap kali ada orang tua yang datang dengan kekhawatiran tentang anaknya yang kecanduan gadget, menjadi korban cyberbullying, atau terpapar konten yang tidak pantas, saya semakin yakin bahwa literasi digital bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan yang mendesak.
Selain itu, banyak anak dan remaja yang sebenarnya memiliki potensi luar biasa, tetapi tanpa bimbingan yang tepat, mereka bisa tersesat dalam arus digital yang tidak terkendali. Saya ingin membantu mereka tidak hanya agar lebih aman, tetapi juga agar mereka bisa menggunakan teknologi untuk hal-hal yang lebih bermanfaat dan membangun masa depan mereka.
Yang membuat saya terus bergerak adalah dampak nyata dari edukasi yang saya lakukan. Ketika orang tua merasa lebih percaya diri dalam mendampingi anak-anaknya di dunia digital, ketika ada anak yang akhirnya bisa memilah informasi dengan lebih bijak, atau ketika ada komunitas yang mulai mengadopsi kebijakan keamanan digital, saya merasa bahwa setiap langkah kecil ini adalah bagian dari perubahan besar yang sedang kita bangun bersama.
Saya percaya bahwa keamanan digital anak bukan tanggung jawab satu pihak saja. Ini adalah tugas kita bersama—orang tua, pendidik, komunitas, pemerintah, dan industri teknologi. Selama masih ada anak-anak yang membutuhkan perlindungan di dunia digital, saya akan terus bergerak, berbagi, dan berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan mendukung bagi mereka.
Apa harapan Anda terhadap masa depan digital dan masa depan anak-anak Indonesia?
Saya berharap anak-anak Indonesia bisa tumbuh di lingkungan digital yang lebih aman dan sehat, di mana mereka bisa mengeksplorasi teknologi dengan percaya diri tanpa harus khawatir terjebak dalam risiko yang mengancam. Dunia digital seharusnya menjadi ruang untuk belajar, berkarya, dan berkembang, bukan tempat yang membahayakan mereka.
Harapan saya, kesadaran akan keamanan digital bisa menjadi bagian dari pola asuh yang lebih luas di keluarga Indonesia. Bukan hanya sekadar pembatasan dan pemblokiran, tetapi juga pendekatan yang lebih edukatif dan kolaboratif. Saya ingin melihat lebih banyak orang tua yang terlibat aktif dalam mendampingi anak-anaknya di dunia digital, bukan hanya dengan melarang, tetapi dengan membimbing dan memberikan contoh yang baik.
Selain itu, saya berharap pemerintah dan platform digital bisa semakin serius dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi di dunia maya, dengan regulasi yang lebih kuat serta kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan anak. Jika kita semua—orang tua, pendidik, pemerintah, dan masyarakat—bisa bekerja sama dalam membangun ekosistem digital yang lebih aman, saya yakin anak-anak Indonesia akan bisa tumbuh sebagai generasi yang cerdas, kreatif, dan siap menghadapi tantangan dunia digital dengan lebih baik. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved