Tissa TS, Penulis Cerita Film Anies Baswedan dan Fery Farhati

Kisah romantis Anies Baswedan dan sang istri, Fery Farhati diwujudkan dalam sebuah film layar lebar. Film tersebut diberi judul “Janji Manies, Love Story” dan akan tayang serentak di seluruh jaringan bioskop 21 pada 12 Juni 2025 mendatang.
Kisah klasik Anies Baswedan dan Fery Farhati ditulis ulang oleh Tissa TS, seorang penulis skenario film yang terkenal ciamik menuliskan kisah cinta yang romantis.
Awalnya Tissa mengaku kaget dengan tawaran menulis kisah cinta Anies dan Fery, karena keduanya sudah menjadi tokoh besar yang dikenal luas oleh publik.
Tapi akhirnya dia bersedia setelah yakin tak ada cerita politik dalam cerita yang diangkat jadi layar lebar tersebut. Dia yakin, meski setting film ini adalah tahun 90-an, namun kisah yang diangkat tetap bisa terkait dengan generasi Milenial dan Gen Z.
Kepada Endah Lismartini dari politikindonesia.id yang mewawancarainya usai pemutaran trailer dan peluncuran poster film di Jakarta, pekan lalu, Tissa bercerita bagaimana serunya dia menuangkan kisah Anies Baswedan dan Fery Farhati.
Berikut wawancaranya:
Apa hal yang membuat Anda bersedia menulis cerita tentang Pak Anies dan Bu Fery ini?
Pertama, jujur karena ini menantang banget. Benar-benar challenging. Terus yang kedua, aku sudah memastikan kalau ini tidak ada muatan politik. Karena sebagai orang film, lebih baik kita free ya. Enggak ada unsur politik apapun. Namun saya diyakinkan, bahwa ini benar-benar hanya mengangkat kisah romantis, love story-nya Pak Anies dan Bu Fery masih muda. Jadi aku langsung merasa tertarik saja. Jadi merasanya, “wow ini tantangan baru nih”.
Tapi sempat deg-degan enggak, karena nama Pak Anies kan enggak bisa dilepaskan dari politik?
Aku tuh jujur ya, karena aku orang film, aku yakin pada saat orang nonton nanti, mereka akan lihat dan tahu, “oh iya ternyata enggak ada unsur politiknya sama sekali”.
Yang bikin deg-degan malah ketika presentasi di depan beliau, di hadapan Pak Anies dan Bu Fery langsung. Selama ini aku kan presentasi di depan stasiun tv, atau di depan PH (production house-red).
Jadi ketika presentasi langsung depan Pak Anies dan Bu Fery, saya merasa kayak udah another level gitu. Jadi itu aja yang bikin aku deg-degan sih. Karena mau presentasi ke Pak Anies dan Bu Ferrt itu ada aturannya. Dari baju yang dipakai, cara bicara, itu semuanya berbeda.
Kenapa memilih kisah cinta Pak Anies dan Bu Fery, bukan perjalanan politik Pak Anies?
Sebenarnya ini pilihan produser dan sutradara ya. Tapi katanya karena Pak Anies sendiri yang meminta tak menulis soal karier dan kehidupan politiknya. Dia malah menawarkan kisah romantisnya dengan Bu Fery saat mereka kuliah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Lalu mereka meminta saya untuk menulis kisah tersebut.
Dari film ini berapa persen yang riil mengambil kehidupan Pak Anies?
Sebenarnya itu hampir semua. Jadi memang ini kita ambil semua dari kehidupannya beliau dan Bu Fery. Tapi treatment-nya agak kita modif dengan kehidupan zaman sekarang gitu. Kalau zaman dulu kan mungkin ada hal-hal jadul yang sekarang udah enggak relate sama anak-anak kan. Kalau sekarang kita harus mengambil dari gen z-nya juga.
Tantangan apa yang Anda hadapi selama menulis cerita ini?
Paling risetnya ya. Karena risetnya harus ketemu sama beliau, terutama ke Bu Fery juga sampai beberapa kali ya. Karena harus wawancara, ngobrol sampai berjam-jam. Dan itu tadi ya, masalah birokrasi, Ada juga jam 7 pagi kita udah harus stand by di sana. Itu tuh kayak gimana gitu. Lumayan sih. Hahahaha...
Tapi enggak apa-apa. Aku tetap senang banget kok. Karena itu kayak bikin aku jadi punya pengalaman baru.
Lalu respon Bu Anies dan Pak Fery sendiri bagaimana?
Beliau berdua happy banget, dan senangnya lagi yang bikin aku agak surprise, jadi begitu aku selesai presentasi, Pak Anies langsung bilang OK. Enggak ada catatan. Langsung OK. Jadi saya yang kayak, “hah? Serius ini langsung OK?” Benar-benar langsung OK, enggak ada catatan. Sampai saya tanya balik, “mungkin bapak ada masukan atau apa?” Tapi Pak Anies jawab, “enggak ada kok. Sudah OK.” Jadi saya tuh yang kayak, “hah ini serius nih se-OK itu?”
Terus saya juga tanya Bu Fery, “menurut ibu gimana?”
Terus Bu Fery jawab, “Saya juga sudah OK kok. Saya serahkan semua ke Mbak Tissa, paling saya cuma pesan, jangan sampai karakternya itu keluar dari karakter Pak Anies dan Bu Fery.” Itu saja dari Bu Fery.
Nah film ini kan settingnya tahun 90-an ya?
Betul.
Terus bagaimana caranya supaya film ini juga bisa mengajak generasi Milenial dan Gen Z untuk bisa relate dengan film ini?
Nah itu, kalau sekarang ini challenge-nya soal treatment. Jadi ibaratnya biar anak-anak Gen Z melihat film ini dan merasa, “ternyata cara pedekate-nya relate nih sama gue”.
Karena bagaimanapun kan Gen Z ada yang introvert dan ada yang ekstrovert. Nah buat Gen Z yang introvert, itu bisa melihat bagaimana di film ini kisah romantis orang introvert. Pak Anies ini kan orang yang kalau sudah menyangkut politik, kegiatan mahasiswa, dia itu bisa berapi-api. Tapi kalau sudah berhadapan dengan Bu Fery, beliau bisa mati gaya. Aku ambil yang semacam itu. Lucu sih, banyak gemesnya juga.
Nah, biar enggak penasaran, mungkin nanti bisa saksikan sendiri ya setelah tayang tanggal 12 Juni nanti. Saya pastikan enggak ada muatan politiknya di film ini. Karena memang murni kisah cinta Pak Anies dan Bu Fery. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved