Dedi Mulyadi Tetap Kirim 69 Siswa Nakal ke Barak Militer

Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi, telah memulai program pendidikan bagi siswa nakal di dua daerah, Purwakarta dan Bandung, dikirim ke ke barak militer, Jumat (2/5/2025).
Tercatat ada 39 pelajar SMP yang dinilai “sulit diatur” oleh sekolah dan keluarga yang dikirim menjalani pendidikan di di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9, Purwakarta.
Kemudian, sebanyak 30 pelajar yang dianggap nakal di Bandung, Jawa Barat, mengikuti sekolah militer di Rindam III Siliwangi, Bandung.
Menurut Dedi, program pendidikan militer yang melibatkan TNI dan Polri ini dilakukan untuk memperkuat karakter bela negara pada siswa. Khususnya mereka yang terseret dalam pergaulan bebas atau terindikasi melakukan tindakan kriminal.
Dedi menilai selama ini sudah banyak orangtua yang bersedih karena anaknya terlibat dalam pergaulan negatif. Seperti masuk geng motor, tawuran, bahkan sampai mengonsumsi obat terlarang.
"Diharapkan, adanya pembinaan yang melibatkan unsur TNI dan Polri di dalamnya bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah sosial tersebut. Anak-anak yang orangtuanya sudah tidak sanggup lagi mendidik, akan kami wajib militerkan," kata Dedi Mulyadi.
Dedi juga mengirim sindiran kepada pihak-pihak yang menolak gagasannya mengirim siswa nakal ke barak militer.
Menurut Dedi, pihak-pihak yang menolak adalah para elite yang hanya bisa berkomentar dan tidak mengurus langsung siswa-siswa yang bermasalah.
"Pertanyaannya, elite-elite ini ngurusin nggak anak-anak yang tawuran tiap hari? Elite-elite ini ngurusin nggak anak-anak yang di kolong jembatan tidurnya tiap hari? Kan nggak ada yang ngurusin. Cuman komentar saja bisanya," ujar Dedi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Dedi mengklaim, kebijakannya ini didukung oleh sebagian besar warga Jawa Barat, hanya kelompok elite yang menentang idenya itu. "Kenapa? Coba gini deh ukurannya. Kebijakan ini sangat disetujui oleh orangtua. Dicek di media sosial. Siapa sih yang paling mendukung terhadap kebijakan saya? Rakyat Jawa Barat. Siapa yang menentang? Para elite," kata Dedi.
Sementara itu, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema, mengatakan, pembinaan karakter berbasis militer untuk siswa nakal bukan memberikan efek jera. Namun justru dapat memberikan stigma bagi mereka yang akhirnya malah memperparah kondisi psikologis.
“Begitu mereka balik ke sekolah, mereka akan dicap. Relasi sosial akan berubah. Mereka bisa dikucilkan. Belum lagi dampak psikologis jangka panjang kalau tidak ada pendampingan,” kata Doni.
Doni mengkritik asumsi yang digunakan dalam program ini. Yakni asumsi anak-anak tersebut sudah tidak bisa dibina oleh orang tua atau sekolah, sehingga diserahkan ke militer.
"Sekolah dan orangtua harus ikut berperan dalam mendidik anak-anak mereka, bukan malah lepas tangan dan mengirim mereka ke barak. Itu pendekatan pendidikan yang keliru. Kalau anak melakukan tindak kriminal, itu ranah hukum. Tapi kalau hanya membolos, malas, atau membuat onar, itu masih ranah pendidikan," kata Doni.
Doni mengingatkan, anak juga punya hak untuk mengungkapkan pendapatnya sebelum diikutsertakan dalam program tersebut.
Doni khawatir ada banyak anak yang tidak setuju dikirim ke barak militer tapi tetap dipaksakan untuk dilakukan.
Sedangkan, Mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan aktivis dari Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), Retno Listyarti, mempertanyakan dasar hukum yang digunakan untuk mengirim pelajar ke barak.
Retno menilai kebijakan memasukkan anak ke barak militer untuk jangka waktu 6 hingga 12 bulan, tanpa memutus status mereka sebagai siswa justru akan menimbulkan persoalan serius.
Sebab, kata Retno, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tidak mengatur ketentuan yang membenarkan penggunaan barak militer sebagai lembaga pembinaan bagi anak sekolah.
"Memasukkan anak-anak 'nakal' ke barak, peraturan perundangan yang dipakai apa? Dasar hukumnya apa? Kalau mereka tetap siswa, bagaimana dengan hak akademiknya? Kalau dia tidak dapat nilai kelas 11, bagaimana bisa naik ke kelas 12?" kata Retno.
Retno mengingatkan, Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur bahwa anak-anak yang berperilaku menyimpang seperti tawuran atau kekerasan justru masuk dalam kategori anak dengan perlindungan khusus.
"Ada beberapa kategori anak dengan perlindungan khusus, termasuk anak korban kekerasan dan anak pengguna narkoba. Penanganannya melibatkan Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dan dinas terkait, bukan militer," jelas Retno.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menjelaskan, pendidikan anak-anak bermasalah di barak militer ini bukanlah pendidikan militer, melainkan pendidikan karakter.
"Pendidikan pembentukan karakter dan kedisiplinan ini, bukan merupakan bentuk pendidikan militer atau pendidikan ala militer, walaupun dilaksanakan di lingkungan asrama militer," kata Wahyu.
Menurut Wahyu, pendekatan yang digunakan bersifat personal dan kelompok melalui metode bimbingan dan pengasuhan.
Selama tinggal di barak militer, para pelajar juga tetap mendapatkan materi pelajaran yang selama ini mereka peroleh di lingkungan sekolah.
“Materi yang diberikan adalah materi umum yang biasa ada di sekolah, seperti belajar di kelas, bimbingan konseling, latihan baris-berbaris, motivasi, penyuluhan bahaya narkoba, bela negara, hingga outbound dan permainan kelompok," jelas Wahyu.
Melalui program ini, Wahyu berharap dapat mengembalikan siswa menjadi pribadi yang baik, disiplin, tangguh, dan memberikan pengaruh positif di lingkungan masing-masing.[]
© Copyright 2025, All Rights Reserved