UU TNI dan Demokrasi

DWIFUNGSI ABRI, konsep kontroversi yang dicetuskan Jenderal Nasution di akhir 1950-an, menjadi titik balik dalam politik Indonesia.
Gagasan "jalan tengah" tersebut membuka pintu bagi militer untuk tak hanya berperan dalam pertahanan, tapi mengintervensi ranah politik dan pemerintahan. Nasution berargumen bahwa tentara perlu terlibat dalam pembangunan nasional—sebuah pemikiran yang kemudian menjadi landasan bagi dominasi militer selama puluhan tahun.
Di era Soeharto, dwifungsi ABRI mencapai puncaknya. Perwira aktif menyerbu posisi strategis—dari parlemen hingga BUMN—tanpa perlu melepas seragam. Praktik menjadi doktrin militer dan mesin penggerak kekuasaan yang memastikan cengkeraman Orde Baru di setiap sendi pemerintahan, (TK Sofuan, 2023). Alih-alih menjaga keamanan, militer justru menjadi oligarki yang menggerus demokrasi dan menghancurkan batas antara peran sipil dan militer.
Reformasi 1998 akhirnya memaksa militer mundur dari panggung politik. Teriakan rakyat menggema: dwifungsi ABRI ujungnya dibubarkan. Gus Dur, dengan keberaniannya, mengeksekusi tuntutan ini—memisahkan Polri dari TNI dan mengusir fraksi militer dari parlemen. Sebuah kemenangan demokrasi yang mengakhiri era tentara berkuasa. Walau, dua dekade kemudian, hantu dwifungsi ini kembali mengintai lewat revisi UU TNI 2025. Perjuangan reformasi yang dikira telah usai, ternyata masih terus dikawal.
Arsitek Politik Orde Baru
Ali Murtopo, arsitek politik Orde Baru, menjadi otak di balik penguatan dwifungsi ABRI. Sebagai orang kepercayaan Soeharto, beliau memastikan militer tak hanya bertahan di barak, juga mendominasi pemerintahan—sebuah strategi yang mengukuhkan kekuasaan sekaligus menekan demokrasi.
Ali Murtopo, arsitek politik Orde Baru, merancang strategi yang memastikan dominasi Golkar sebagai mesin kekuasaan Soeharto. Dengan konsep "massa mengambang," ia memutus hubungan partai politik dengan basis massa di pedesaan, mendesain depolitisasi yang efektif.
Melalui Operasi Khusus (Opsus), Murtopo tak segan mengintervensi partai dan organisasi, memanipulasi kongres, dan melemahkan oposisi. Strategi ini sukses memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971, tetapi sekaligus menegaskan wajah otoritarianisme Orde Baru yang menekan demokrasi demi stabilitas rezim, (S. Dwi, 2014).
Di balik stabilitas politik Orde Baru, strategi Ali Murtopo menyisakan luka bagi demokrasi. Oposisi dilemahkan, pers dikekang, dan suara rakyat dibungkam. Andreas Schedler (2006) menyebutnya sebagai "rezim otoritarianisme hegemonik," di mana kompetisi politik tak lebih dari sandiwara untuk melanggengkan kekuasaan.
Jejak pemikiran Ali Murtopo masih membayangi politik Indonesia, bahkan setelah era Orde Baru berakhir. Pengesahan revisi UU TNI 2025 yang memperluas peran prajurit aktif di jabatan sipil memicu kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi TNI dalam bentuk baru.
Meski pemerintah mengklaim supremasi sipil tetap terjaga, celah dalam pasal-pasal kontroversi melahirkan bahwa perdebatan tentang peran militer dalam politik tetap cocok. Warisan strategi Murtopo yang mengaburkan batas sipil-militer kini menjadi pelajaran bagi demokrasi Indonesia yang terus diuji.
RUU TNI di Masa Prabowo
DPR RI mengesahkan revisi UU TNI pada 20 Maret 2025, membuka babak baru bagi militer di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Langkah ini menimbulkan tanda tanya: apakah ini reformasi strategis atau justru ancaman bagi demokrasi?
Revisi UU TNI membuka pintu lebih lebar bagi militer untuk menduduki jabatan sipil. Prajurit aktif kini bisa mengisi posisi di 16 institusi—termasuk BNPB dan BNPT—meningkat dari sebelumnya 10 lembaga. Pemerintah berdalih hal ini untuk menghadapi "ancaman modern."
Pengesahan revisi UU TNI 2025 menjadi sorotan lantaran dinilai menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer dalam kemasan baru. Pemerintah bersikeras bahwa perubahan ini tidak akan mengancam supremasi sipil, tetapi kritik dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM, mengindikasi sebaliknya. Pasal 47 ayat 2 membuka ruang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang pemisahan peran TNI dan Polri.
Proses legislasi yang dilakukan secara kilat dan minim partisipasi publik semakin menguatkan tudingan "abusive law making," di mana hukum digunakan untuk melanggengkan kepentingan politik tertentu. Revisi ini menjadi alarm bagi demokrasi Indonesia, mengingat sejarah panjang dominasi militer yang pernah menekan supremasi sipil di masa lalu.
Kontroversi RUU TNI
Revisi UU TNI 2025 memicu alarm demokrasi. Di balik dalih "efisiensi," pasal-pasal kontroversi membuka celah bagi prajurit aktif menduduki jabatan sipil—langkah mundur yang mengingkari semangat reformasi. Komnas HAM memperingatkan potensi kembalinya dwifungsi ABRI, sementara proses legislasi kilat tanpa partisipasi publik menguatkan tuduhan "abusive law making". Pemerintah boleh membantah, tapi bayangan otoritarianisme masa lalu kini mengintip dari balik revisi UU ini.
TNI kini diberi wewenang tambahan untuk menangani ancaman siber dan narkotika—domain yang sebelumnya menjadi ranah sipil. Di balik argumen "efektivitas" dan "ancaman modern," perluasan peran ini membuka kotak Pandora: siapa yang akan mengawasi para pengawas? Tanpa mekanisme kontrol, kita berisiko menyaksikan militerisasi penanganan masalah-masalah yang sejatinya menjadi domain penegak hukum sipil.
Perpanjangan usia pensiun perwira tinggi hingga 65 tahun—naik tujuh tahun dari sebelumnya—bukan cuma soal angkanya. Kebijakan ini menciptakan bottleneck dalam regenerasi kepemimpinan militer, di mana perwira muda mesti menunggu lebih lama untuk naik pangkat. Struktur piramida TNI terancam rusak, dengan perwira senior yang "parkir" lebih lama di posisi puncak.
Antara Efisiensi dan Ancaman Demokrasi
Revisi UU TNI 2025 membuka celah bagi prajurit aktif untuk menduduki 16 jabatan sipil strategis—meningkat dari sebelumnya 10 lembaga. Di balik argumen "efisiensi," perluasan ini mengkhianati semangat reformasi dan mengaburkan garis pemisah sipil-militer yang diperjuangkan dengan darah pada 1998. Supremasi sipil, fondasi demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru, kini terancam oleh kebijakan yang mengingatkan pada era kelam dwifungsi ABRI.
Perluasan peran TNI mengancam demokrasi, ekonomi dan birokrasi. Ketika prajurit aktif—dengan pelatihan dan mindset militer—menduduki posisi sipil, inefisiensi menjadi tak terhindarkan. Pendekatan "sekuritisasi" pada berbagai masalah nasional resikonya membuat pembangunan terdistorsi oleh kepentingan militer.
Lebih mengkhawatirkan, fenomena crowding out mengintai: militer aktif potensinya mengambil alih peran yang idealnya diisi oleh swasta, UMKM, bahkan petani—membuat distorsi pasar tenaga kerja dan mengganggu iklim investasi.
Revisi UU TNI 2025 tak hanya mengancam demokrasi, juga merusak komitmen HAM Indonesia di kancah internasional. Di bawah Prabowo, militer kembali diberi akses ke ranah sipil—langkah mundur yang mengkhianati janji Indonesia di forum PBB.
Koalisi HAM internasional pada Maret (2025) mengecam keras kebijakan ini sebagai pembangkangan terhadap rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR) dan Universal Periodic Review (UPR). Ironis, saat dunia bergerak maju memperkuat HAM, Indonesia justru kembali ke era impunitas militer yang sudah lama ditinggalkan pasca-Reformasi.
Indonesia kini berada di persimpangan. Revisi UU TNI 2025 menghadapkan kita pada pilihan: melanjutkan reformasi atau kembali ke era otoritarianisme militer. Tanpa pengawasan dari masyarakat sipil dan akademisi, prinsip-prinsip demokrasi yang diperjuangkan dengan darah pada 1998 bisa luntur perlahan. Pertaruhannya bukan cuma undang-undang, tapi masa depan Indonesia sebagai negara demokratis.
Kritik terhadap Revisi UU TNI 2025
Revisi UU TNI 2025 menyulut kritik, dianggap sebagai "abusive law-making" yang menggerus demokrasi dan supremasi sipil. Di balik dalih penguatan keamanan, kebijakan ini membuka jalan bagi militerisasi birokrasi—mengancam fondasi negara hukum yang diperjuangkan sejak reformasi.
Proses legislasi revisi UU TNI 2025 memanen kritik. Pembahasan yang dilakukan secara kilat dan tertutup di hotel mewah dinilai melanggar prinsip transparansi dan partisipasi publik—fondasi vital dalam pembuatan undang-undang di negara demokratis. Tanpa urgensi yang jelas, revisi ini disebut sebagai kriminalisasi legislasi, cerminan praktik hukum yang jauh dari standar administrasi negara yang baik.
Pengawasan implementasi UU TNI 2025 menjadi kiat mencegah kembalinya "pola lama." Kendati pemerintah dan DPR bersikeras revisi ini hanya untuk "memperjelas peran TNI," kesangsian publik sulit dibendung. Di negara dengan sejarah panjang dominasi militer, jaminan verbal saja tak cukup. Kontrol sipil yang kuat menjadi prasyarat utama—tanpa itu, pintu menuju dwifungsi TNI model baru bisa terbuka lebar, mengancam tatanan demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah pasca-reformasi.
Revisi UU TNI 2025 menjadi evaluasi bagi pemerintahan Prabowo dalam menjaga keseimbangan antara penguatan militer dan prinsip demokrasi. Proses legislasi yang terburu-buru dan minim transparansi memicu gamangnya soal supremasi sipil. Pengawasan publik kini menjadi acuan untuk memastikan kebijakan ini tidak menyimpang, agar demokrasi dan hukum tetap menjadi fondasi vital negara.
*Penulis adalah Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang
© Copyright 2025, All Rights Reserved