Urgensi Revisi UU TNI untuk Keamanan Masa Depan

UNDANG-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah menjadi landasan peran militer dalam menjaga kedaulatan negara pasca Reformasi 1998. Namun, dalam dua dekade terakhir, ancaman terhadap Indonesia telah berkembang pesat, dari invasi militer tradisional hingga perang siber, terorisme, infiltrasi ekonomi, dan krisis sumber daya.
Berdasarkan data BPS (2024), populasi penduduk Indonesia lebih dari 278 juta jiwa, kondisi jumlah populasi yang besar tersebut berpengaruh secara langsung terkait masalah ketahanan pangan dan energi nasional, yang tentunya menjadi isu strategis yang tak terpisahkan dari masalah ancaman keamanan nasional.
Perlunya Reformulasi Peran TNI
Kondisi ancaman nasional yang semakin dinamis, mendorong posisi TNI bukan hanya menjadi benteng kedaulatan NKRI, tetapi juga garda terdepan dalam menghadapi berbagai tantangan nasional. Lawrence Freedman (2013) dalam Strategy: A History menegaskan bahwa militer modern harus adaptif terhadap ancaman multidimensi. Dalam konteks ini, revisi UU TNI menjadi krusial agar militer dapat lebih optimal dalam menghadapi multidimensi ancaman.
Ancaman informasi dan siber, misalnya, telah menjadi bagian dari strategi perang modern. Negara-negara seperti AS telah membentuk unit khusus seperti Cyber Command (Arquilla & Ronfeldt, 1996). Jika Indonesia tidak menyesuaikan regulasi pertahanannya, infrastruktur vital negara akan semakin rentan terhadap serangan digital.
Situasi serangan siber sendiri terjadi pada Juni 2024 lalu, dengan menyerang pusat dana nasional milik negara. Dilansir Kompas, 27 Juni 2024, Menteri Komunikasi dan Informasi, Budi Arie dalam rapat kerja dengan komisi DPR RI, menyatakan bahwa Identifikasi gangguan. Pertama, terjadi gangguan pada PDNS 2 di Surabaya berupa serangan siber dalam bentuk ransomware bernama Brain Cipher Ransomware. Ia juga memaparkan, pascapenemuan ransomware, ditemukan upaya penonaktifan fitur keamanan Windows Defender mulai tanggal 17 Juni 2024 pukul 23.15 WIB, yang memungkinkan aktivitas malicious (berbahaya) beroperasi.
Akibat serangan siber tersebut tidak main-main dampaknya, aktivitas layanan lumpuh berjam-jam, artinya dampak serangan siber ini sangat nyata terhadap sistem keamanan siber nasional kita, sehingga hal ini mesti menjadi titik balik bagi Indonesia dalam memperkuat sumber daya dan infrastruktur siber nasional dari segala ancaman yang terjadi, termasuk penguatan peran TNI dalam menghadapi perang modern ini.
Di sisi lain, Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki berbagai tantangan, seperti pelanggaran batas wilayah, pencurian sumber daya laut, dan ancaman keamanan di perairan strategis. Pada sisi inlah, TNI memiliki peran strategis dalam menjaga kedaulatan maritim Indonesia. Dalam konteks revisi UU TNI, penguatan peran TNI dalam menghadapi ancaman maritim menjadi krusial, terutama dengan meningkatnya kompleksitas dinamika geopolitik dan keamanan laut.
Melalui operasi keamanan laut yang melibatkan TNI AL, penguatan pangkalan militer di perbatasan, serta patroli bersama dengan instansi terkait, TNI dapat memastikan bahwa setiap ancaman dapat ditanggulangi secara efektif. Revisi UU TNI diharapkan dapat memperjelas mandat dan wewenang TNI dalam mendukung penegakan hukum di laut, memperkuat sinergi dengan nelayan dan masyarakat pesisir dalam sistem pertahanan rakyat semesta, serta mempercepat modernisasi alutsista guna menghadapi tantangan maritim yang semakin kompleks. Dengan demikian, reformulasi kebijakan ini akan memastikan TNI tetap adaptif dan responsif dalam menjaga kedaulatan serta kepentingan nasional di lautan.
Ketahanan Pangan dan Energi dalam Keamanan Nasional
Kaplan (2012) dalam The Revenge of Geography menekankan bahwa krisis pangan dapat memicu ketidakstabilan sosial. Dengan luas wilayah yang besar dan kondisi geografis yang beragam, Indonesia memerlukan strategi ketahanan pangan yang lebih komprehensif. TNI memiliki potensi besar dalam mendukung pengelolaan lahan strategis di perbatasan dan daerah rawan pangan.
Begitu pula dengan kedaulatan energi. Ketergantungan pada impor energi menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan tekanan geopolitik. Yergin (2011) dalam The Quest menegaskan bahwa keamanan energi adalah bagian dari pertahanan nasional. Oleh karena itu, TNI dapat berperan dalam pengamanan infrastruktur energi strategis serta mendukung pengembangan sumber energi terbarukan.
Bukan maksud untuk melibatkan TNI pada semua aspek strategis nasional. Namun, dengan keterlibatan yang lebih luas, TNI dapat membantu memastikan ketersediaan energi nasional sebagai elemen vital dalam stabilitas negara. Hal itu tentunya menjadi wajar, ketika kita melihat kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh TNI, amat sangat disayangkan, apabila potensi besarnya tidak diberdayakan optimal untuk kepentingan besar negeri ini.
Modernisasi Alutsista dan Realitas Perang Masa Depan
Teknologi pertahanan berkembang pesat, dan militer yang tidak beradaptasi akan tertinggal. Cohen (2001) dalam Supreme Command menekankan bahwa efektivitas militer tidak hanya bergantung pada jumlah personel, tetapi juga pada kecanggihan teknologi dan strategi adaptif. Pengalaman perang Armenia-Azerbaijan menunjukkan bahwa keunggulan teknologi dapat menentukan kemenangan, bahkan bagi negara dengan militer lebih kecil.
Dilansir Reuters, 14 Maret 2025, perang dimana selama lebih dari 3 dekade berlangsung tersebut dimenangkan Azerbaijan. Perang ini terjadi perebutan wilayah Nagorno-Karabakh yang terjadi pada tahun 2020.Perang ini berlangsung selama 44 hari dan dimenangkan oleh Azerbaijan dengan merebut kembali sekitar sepertiga wilayah Nagorno-Karabakh. Penentu kemenangan Azerbaijan ini adalah keunggulan teknologi nir awak yang dimiliki nya. Oleh karena itu, akselerasi modernisasi alutsista menjadi kebutuhan mendesak bagi Indonesia.
Menyeimbangkan Peran Militer dalam Demokrasi
Revisi UU TNI menghadapi berbagai dinamika, termasuk kekhawatiran dari sebagian kelompok sipil bahwa perubahan tersebut dapat membuka ruang bagi keterlibatan militer dalam urusan nonpertahanan secara berlebihan. Samuel P. Huntington (1957) menekankan bahwa supremasi sipil atas militer merupakan prinsip utama dalam negara demokratis, yang bertujuan untuk memastikan bahwa kekuatan militer tetap berada di bawah kendali otoritas sipil.
Kekhawatiran ini berakar pada pengalaman historis di beberapa negara di mana militer memiliki pengaruh politik yang dominan, yang dalam beberapa kasus berimplikasi pada terbatasnya ruang demokrasi dan kebebasan sipil. Namun, pengalaman negara-negara demokratis maju seperti Jepang dan Jerman menunjukkan bahwa militer dapat diberikan peran yang lebih luas dalam menghadapi ancaman nonkonvensional tanpa mengorbankan prinsip demokrasi.
Jepang, misalnya, telah memperkuat peran Pasukan Bela Diri dalam menghadapi ancaman siber dan bencana alam, sementara Jerman meningkatkan keterlibatan militernya dalam mendukung tugas-tugas kemanusiaan dan keamanan dalam negeri. Kedua negara ini tetap menjaga supremasi sipil dengan memastikan adanya pengawasan ketat dan batasan yang jelas terhadap keterlibatan militer dalam urusan domestik.
Indonesia, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, telah membangun sistem demokrasi yang terkonsolidasi dengan baik. Kehadiran elite politik, pers, dan masyarakat sipil yang kuat memastikan bahwa keseimbangan antara peran sipil dan militer tetap terjaga. Oleh karena itu, revisi UU TNI harus dipandang sebagai upaya memperkuat sinergi antara unsur sipil dan militer dalam menghadapi tantangan nasional yang semakin kompleks, bukan sebagai langkah menuju militerisasi ruang sipil.
Sehingga, untuk memastikan keseimbangan ini, diperlukan mekanisme checks and balances yang kuat, termasuk pengawasan legislatif dan peran lembaga independen dalam mengawal keterlibatan TNI di luar sektor pertahanan utama.
Salah satu pendekatan tersebut adalah dengan terbentuknya Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sebagai instrumen strategis yang melibatkan berbagai elemen, baik sipil dan militer dalam perumusan kebijakan pertahanan dan keamanan nasional.
Dengan demikian, revisi ini tidak hanya memberikan ruang bagi TNI untuk berkontribusi lebih luas dalam menghadapi tantangan nasional, tetapi juga memastikan bahwa peran tersebut tetap dalam koridor demokrasi, supremasi sipil, dan kepentingan nasional.
Revisi UU TNI sebagai Kebutuhan Strategis
Revisi UU TNI bukan sekadar perubahan regulasi, melainkan langkah strategis untuk menyesuaikan pertahanan negara dengan realitas ancaman modern yang semakin kompleks. Tantangan di era globalisasi tidak hanya terbatas pada ancaman militer konvensional, tetapi juga melibatkan aspek keamanan non tradisional seperti siber, maritim, hingga perubahan iklim. Oleh karena itu, revisi ini harus dilakukan melalui pendekatan berbasis hukum, akademik, serta pengalaman negara lain agar Indonesia memiliki militer yang lebih tangguh, profesional, dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Salah satu aspek penting dalam revisi ini adalah bagaimana optimalisasi peran TNI dalam mendukung ketahanan pangan dan energi nasional. Dalam situasi krisis global yang berdampak pada rantai pasok dan ekonomi domestik, keterlibatan TNI dapat membantu memastikan distribusi logistik strategis tetap berjalan lancar. Selain itu, pemanfaatan sumber daya yang dimiliki TNI, baik dalam infrastruktur maupun tenaga ahli, dapat berkontribusi dalam program ketahanan pangan, pengelolaan lahan, serta pengamanan sumber daya energi nasional.
Di samping itu, revisi UU TNI juga harus mencakup percepatan modernisasi alutsista guna meningkatkan daya gentar dan efektivitas operasional. Penguatan industri pertahanan dalam negeri menjadi kunci agar Indonesia tidak bergantung pada impor, melainkan mampu memproduksi alutsista canggih secara mandiri. Dengan demikian, TNI tidak hanya menjadi kekuatan pertahanan yang andal, tetapi juga pilar utama dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan NKRI di tengah dinamika geopolitik yang terus berkembang.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) dan Pakar Geografi Politik Universitas Islam 45 (Unisma)
© Copyright 2025, All Rights Reserved