Esensi Memaafkan, Perjalanan Spiritual Ketenangan Jiwa

BULAN Ramadan adalah bulan istimewa yang selalu dinanti-nantikan oleh para umat muslim.
Bulan yang seringkali disebut sebagai Bulan Suci ini memberikan kesempatan buat setiap muslim untuk melakukan transformasi spiritualnya dan mempertebal iman Islamnya.
Aktivitas keseharian pun berubah dan menyesuaikan dengan kehadirannya. Jam kerja memendek, jam belajar berkurang, dan menggantinya dengan aktivitas ruhaniah spiritual.
Di balik puasa yang lekat dengan latihan menahan diri terdapat ritual batiniah. Puasa bukan hanya sekedar ritual lahirian seperti menahan keinginan untuk makan dan minum saja sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Akan tetapi puasa juga menjadi ritual batiniah menahan emosi, atau hawa nafsu yang seringkali menjerumuskan manusia dalam kesalahan.
Pada bulan Ramadan ini setiap muslim didorong untuk melalui perjalanan kehidupan yang lebih bermakna dengan melakukan muhasabah, merefleksi diri lebih mendalam.
Kesemuanya itu menjadi serangkaian ibadah komprehensif yang merupakan proses fundamental pembersihan lahir dan batin, me-refresh dan me-resetting diri yang selama ini mungkin sakit batin, lelah hati karena kelelahan beban mental kehidupan.
Ibadah puasa menjadi ajang kesempatan bagi diri setiap muslim mengerahkan segala kemampuan pada upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tiap diri dituntut untuk mampu mengendalikan diri menjadi manusia yang lebih baik, membentuk karakter yang lebih sabar, dan rendah hati.
Kualitas spiritual seorang muslim diharapkan dapat menjadi lebih tangguh menghadapi hidup serta mampu mengendalikan keinginan yang berlebihan dan nafsu yang tak terkendali. Tidak hanya itu, tiap muslim pun diajak untuk selalu melembutkan hati dan peka terhadap perasaan maupun penderitaan sesama manusia.
Muhasabah: Introspeksi Diri yang Mendalam
Seringkali kita mendengar “manusia adalah gudangnya salah”. Ini adalah kalimat ujaran yang seringkali disampaikan baik itu secara langsung maupun melalui media. Ini adalah pengingat diri dan kepada orang lain bahwa menjadi manusia bukannya tanpa salah.
Ketika bertingkah laku, berkata-kata dalam interaksi kesehariannya dengan orang lain, manusia itu seperti sedang memegang busur anak panah yang ketika dilepaskan, selanjutnya tak mampu untuk ditarik kembali.
Akibatnya bila ada kesalahan kata maupun perbuatan tak lagi mampu dapat sebenar-benarnya dihapuskan. Apalagi bila sudah terlanjur membekas dalam hati dan pikiran. Muhasabah menjadi salah satu upaya jalan keluar yang mungkin bisa dilakukan.
Muhasabah merupakan proses fundamental dalam segala aktivitas ibadah berpuasa di bulan Ramadan. Tiap diri setiap muslim perlu untuk berani mengambil langkah introspeksi diri yang mendalam dan penuh rasa kejujuran. Ibaratnya seperti membersihkan rumahnya, sebelum tamu datang bertandang, debu dan kotoran adalah hal pertama yang perlu terlebih dahulu dihilangkan agar tampak resik dan tidak mengganggu.
Begitupun dalam diri manusia, perlu untuk melakukan proses membersihkan hati dengan merefleksi diri atau bermuhasabah dari khilaf yang menyebabkan rasa dendam, kesal dan juga kesombongan, prasangka, dan segala bentuk penyakit hati lainnya.
Khilaf menjadi bagian dari keseharian aktivitas manusia. Khilaf dapat saja hadir karena keyakinan yang terlalu, seperti terlalu percaya diri sehingga lupa mengevaluasi diri. Manusia seringkali lupa, tak lagi menghadirkan kesadaran akan keterbatasannya sebagai makhluk Allah, lupa bahwa dalam penentu segala usahanya selama ini adalah garis takdir Allah SWT.
Oleh karena itu, di sinilah penting bagi setiap muslim untuk didorong melakukan evaluasi mendalam terhadap segala perbuatan, pikiran, baik itu dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Tentunya proses ini tidak akan berarti bila tidak ada totalitas kejujuran untuk melihat kelemahan dan kesalahan diri sendiri tanpa perlu bersikap defensif.
Ampunan Allah & Memaafkan Orang Lain
Menjelang akhir bulan Ramadan, bulan Syawal menanti. Salah satu hadis yang menyebutkan keutamaan akhir bulan Ramadan adalah:
Barangsiapa yang ibadah malam pada bulan Ramadan karena iman dan mencari pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Al-Bukhari).
Ini menjadi momen paling bermakna dan menentukan apakah proses spiritual yang dilalui mendapatkan keridhoan Allah SWT. Ini tentunya menjadi dambaan dari setiap muslim di mana proses muhasabah fundamentalnya mendapatkan pengampunan Allah SWT dan dapat kembali fitri seperti terlahir kembali mendapatkan kesucian diri di hari Idulfitri.
Proses muhasabah merupakan proses pengakuan kesalahan dengan kerendahan hati dan bertekad berjanji tidak melakukan kesalahan yang sama, bersungguh-sungguh untuk berubah.
Namun ternyata bukan tanpa syarat. Pada saat meminta ampunan Sang Khalik Allah SWT, pada saat yang sama juga menuntut agar tiap diri perlu untuk membuka pintu hatinya selebar-lebarnya untuk memaafkan sesamanya. Sebagaimana firman Allah SWT;
"Tidakkah kalian suka Allah mengampuni kalian? Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An-Nur: 22)
Jadi proses meminta ampunan Allah bukan sebagai permintaan maaf kepadaNya sebagai manusia tetapi juga meminta maaf pada sesama manusia. Inilah yang menjadi esensi spiritual terdalam dari Ramadan. Meminta ampunan Allah adalah juga meminta kemampuan diri untuk membuka ruang seluas-luasnya untuk memaafkan orang lain. Memaafkan adalah ibadah tertinggi.
Tak salah sepertinya bila menyebutkan bahwa esensi berpuasa adalah juga memaafkan. Esensi memaafkan ini adalah tentang bagaimana manusia mampu mengangkat derajat spiritualnya. Memaafkan menjadi puncak spiritual tertinggi dalam perjalanan ritual Ramadan.
Memaafkan di sini bukan berarti melupakan atau mencari pembenaran atas kesalahan yang sudah dilakukan. Akan tetapi disini adalah kesadaran diri untuk “Ikhlas” melepaskan beban dendam dan kebencian yang selama ini membebani dan menyelimuti hati.
Tentunya ini bukan menyoal seberapa cerdas seseorang dapat menghadapi hidup dan mengevaluasi perbuatan saja tetapi juga membutuhkan kematangan emosional tertinggi.
Meminta maaf kepada orang lain ini bukan sekadar ritual verbal saja, melainkan transformasi batiniah yang mendalam. Bila ini terlaksana dengan baik, pintu ampunan Allah SWT akan terbuka lebar.
Bukan persoalan mudah untuk membebaskan dari dari belenggu amarah pada kesalahan yang orang lain perbuat. Bayangkan hal ini pun terjadi pada sebaliknya, dimana orang lain pun belum tentu dapat dengan mudah membebaskannya dari kesalahan yang dilakukan oleh diri kita sendiri.
Marilah kita meraih puncak perjalanan spiritual di Hari Raya Idulfitri mendatang dengan melakukan transformasi batiniah mendalam. Marilah kita mengisinya tidak hanya bukan sekadar bersilaturahmi, pelukan, dan ucapan maaf dihiasi senyuman terindah.
Marilah kita menjaga hubungan dengan sesame dengan lebih baik, menyambung kembali hubungan yang pernah terputus atau tidak lagi hangat. Lekatkan selalu perjalanan kehidupan ke depan dengan selalu menghadirkan Allah SWT dalam setiap relung kehidupan sebagai upaya nyata berdamai dengan hati dari proses perjalanan spiritual.
Selamat Hari Raya Idulfitri, taqabbalallahu minna wa minkum minal 'aidin wal faizin.
*Penulis adalah Kaprodi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, yang juga Ketua Aspikom Korwil Jabodetabek
© Copyright 2025, All Rights Reserved