Prospek Pemakzulan Gibran

MAYOR Jenderal (Purnawirawan) Sunarko membacakan sikap Forum Purnawirawan TNI untuk mencopot Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Tuntutan sikap disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk ditindaklanjuti. Kemudian Wantimpres Wiranto telah menyampaikan masukan kepada Presiden.
Sunarko bukan sekali ini saja terlibat dalam bidang politik untuk menyampaikan aspirasi sebagai kelompok oposisi non parlemen, yang bukan hanya terkesan tidak puas dengan kinerja kepemimpinan Presiden Joko Widodo, melainkan sekarang berlanjut pada periode kepemimpinan Prabowo dengan maksud untuk memberhentikan Gibran sebagai Wakil Presiden. Gibran sebagai anak dari Joko Widodo.
Dari aspek tinjauan UUD 1945 hasil amandemen satu naskah, pintu masuk untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya menurut UUD adalah MPR (Pasal 3 ayat 3). Persoalannya adalah MPR hanya dapat memberhentikan Gibran jika terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wapres (Pasal 7A).
MPR pun hanya dapat memberhentikan Gibran setelah DPR mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya setelah MK memutuskan Gibran tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wapres, maka MPR dapat memproses untuk memberhentikan Gibran (Pasal 7B).
Artinya, jika dan hanya jika DPR yang setuju terhadap aspirasi Sunarko secara bersyarat, agar MK bersedia memutuskan Gibran tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wapres, maka MPR hanya dapat memproses pengambilan keputusan untuk memberhentikan Gibran.
Implikasinya adalah MPR sekalipun mempunyai wewenang untuk memberhentikan Gibran, jika hanya jika DPR dan MK terlebih dahulu mempunyai keputusan yang serba sama untuk memberhentikan Gibran. Ini merupakan jalan yang tidak mudah, ketika justru Gibran maju sebagai cawapres atas permintaan Prabowo.
Lagi pula Cawapres merupakan pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu (Pasal 6A ayat 2). Implikasi tambahan dari aspirasi Sunarko adalah proses permintaan untuk mencopot Gibran dalam perjalanan berpeluang untuk ditumbuhkembangkan juga untuk memberhentikan Presiden Prabowo, yang sebagai satu paket pasangan Capres dan Cawapres.
Jadi, aspirasi Sunarko untuk memberhentikan Gibran akan dengan sangat mudah untuk diperluas disalahgunakan dalam menggoyang sendi-sendi hukum stabilitas politik dan untuk memberhentikan Presiden Prabowo, sekalipun dimulai dari pintu masuk untuk memberhentikan Gibran.
Terkesan maksud tersembunyi Sunarko adalah memulai agenda untuk menjungkirbalikkan stabilitas politik dengan memanfaatkan Forum Purnawirawan TNI sebagai agenda kelompok kepentingan kelompok, yang selama ini berafiliasi berpolitik praktis berjuang bersama Sunarko.
Hal itu sangat jelas yang dibacakan oleh Sunarko berupa tuntutan-tuntutan lainnya, yaitu menolak Ibukota Nusantara (IKN). Menghentikan proyek strategis nasional (PSN) PIK 2. Menghentikan PSN Rempang Eco City. Menghentikan proyek yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Menghentikan dan mengembalikan tenaga kerja asing ke negara asal.
Implikasinya adalah bukan hanya aspirasi memberhentikan Gibran, melainkan Forum Purnawirawan dibelokkan menggunakan agenda-agenda politik bukan hanya berlatar belakang untuk mengoreksi kinerja kepemimpinan Presiden Joko Widodo, melainkan untuk memberhentikan program kerja keberlanjutan kabinet Merah Putih Presiden Prabowo terhadap program kerja Presiden Joko Widodo.
Bukan hanya Try Sutrisno dan Sutiyoso yang terkesan termanfaatkan sebagai agenda oposisi oleh Sunarko, melainkan secara integral terhadap segenap anggota Forum Purnawirawan TNI.
Hanya saja, aspirasi yang menarik perhatian masyarakat adalah terhadap agenda memberhentikan Gibran. Ternyata bukan hanya Gibran, melainkan terkesan juga secara formal tersurat terhadap sebagian dari program kerja Presiden Prabowo.
Aspirasi yang tegas berupa pemberhentian program kerja pemerintah ini tidak lazim sebagai agenda dari oposisi dari sudut pandang masukan kepada pemerintah yang berkuasa. Masukan itu biasanya bukanlah pemberhentian program kerja, melainkan kelaziman berupa masukan untuk menyempurnakan program kerja dengan meningkatkan aspek potensi dampak positif dan meminimalkan potensi dampak negatif dari program kerja pemerintah.
Jadi, ini adalah agenda politik praktis untuk membuat kegaduhan, bukan dalam usaha untuk menyempurnakan program kerja Presiden Prabowo. Bukan aspirasi yang bersifat murni konstruktif, melainkan untuk mendegradasikan kinerja kepemimpinan Presiden Prabowo.
Di samping itu, juga bukan hanya DPR, MK, dan MPR sebagai lembaga tinggi juga diproyeksikan hendak dijadikan Sunarko sebagai pelaksana dalam mewujudkan pemberhentian Wapres Gibran. Meskipun demikian, sungguh tidak mudah dan hampir dipastikan mustahil, bahwa DPR akan sepakat secara mayoritas atau mempunyai kebulatan tekad untuk memberhentikan Gibran menggunakan mekanisme UUD 1945 satu naskah.
Hal itu disebabkan keputusan pemberhentian Gibran oleh MPR memerlukan sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir, setelah Gibran sebagai Wapres setelah diberikan kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR (Pasal 7 B ayat 7).
Pada tahap awal, syarat DPR dalam mengajukan permintaan kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPR (pasal 7B ayat 3).
Artinya, posisi Gibran sebagai Wapres amat sangat kuat, yang amat sangat sulit untuk diberhentikan oleh MPR sebagaimana secara terdahulu terdapat kelompok oposisi non parlemen, yang juga bermaksud untuk berhasil memberhentikan Presiden Joko Widodo, namun gagal total.
Implikasinya adalah prospek memberhentikan Gibran sungguh amat sangat sulit, sekalipun terdapat berbagai manuver usulan atas dasar kekecewaan yang mendalam. Usulan pintu masuk tersebut antara lain dengan pertimbangan kekecewaan terhadap kapasitas kinerja personal.
Juga maksud memberlakukannya sebagai dugaan pelaku fufufafa, yang tidak pernah terbukti secara hukum. Juga terhadap dugaan pada tuntutan kasus korupsi, yang juga tidak masuk dalam pemrosesan di KPK.
Tuduhan terhadap penggunaan ijazah palsu. Juga khawatir, jika Prabowo nantinya berhenti di tengah jalan dan hendak digantikan oleh Gibran atas pertimbangan potensi kompetensi dan kapasitas maupun kinerja Gibran di masa mendatang.
Singkat kata, latar belakang fundamental untuk memberhentikan Gibran seperti di atas sungguh amat sangat lemah dan bersifat sangat spekulatif. Berhalusinasi. Berandai-andai. Tidak bersifat membumi.
Dasar pertimbangan dimulai bukan atas dasar realitas pelanggaran ketika sedang menjabat, melainkan atas dugaan untuk pelanggaran periode sebelum menjadi Wapres, sedangkan pintu masuk berdasarkan UUD 1945 satu naskah berlaku adalah ketika Gibran menjabat sebagai Wapres.
Itu pun mekanisme pemberhentian Gibran mensyaratkan keberadaan prosedur pelaksanaan yang tidak mudah. Jadi, manuver Sunarko mempunyai prospek keberhasilan yang tergolong amat sangat rendah.
Sulit berhasil sebagaimana maksud dan keinginan Sunarko dahulu untuk memberhentikan Joko Widodo sebagai Presiden, maupun untuk agenda maksud ketika hendak mengadili Joko Widodo setelah menyelesaikan tugas sebagai Presiden selama 10 tahun.
Implikasinya adalah Forum Purnawirawan terkesan diposisikan termanfaatkan dalam agenda petualangan Sunarko dan kelompok-kelompoknya dalam berpolitik praktis. []
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2025, All Rights Reserved