Prabowo dan Kepemimpinan para Sahabat Nabi

MOMENTUM bulan suci Ramadan dan Idulfitri 1 Syawal 1446 Hijriah adalah sebuah lembaran baru bagi umat Islam. Kenapa baru? Paling tidak dapat ditinjau dari aspek jasmaniah dan rohaniah individual maupun kebangsaan.
Secara rohaniah individual telah banyak para ulama yang menyampaikan makna bulan suci Ramadhan dan Idulfitri secara umum ibarat kawah candradimuka untuk menempa diri melatih kesabaran dan kesalehan. Secara jasmaniah individual juga banyak ahli kesehatan telah mengulasnya, bahwa puasa ibarat sedang "membongkar" mesin tubuh manusia. Lalu, bagaimana sebenarnya makna puasa di bulan suci Ramadhan dan Idulfitri dalam perspektif jasmaniah dan rohaniah kebangsaan?
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto diharapkan menjadi pemula bagi perjalanan jasmaniah dan rohaniah kebangsaan pasca Ramadan dan Idulfitri 1446 H. Setidaknya, hal itu telah ditunjukkan oleh Presiden RI yang baru menjabat untuk masa bakti 2024-2029 dengan melakukan kebijakan efisiensi anggaran.
Ada makna rohaniah (menahan diri/puasa) dan jasmaniah (tidak boros) kebangsaan yang langsung diterapkan dalam praktek pengelolaan keuangan serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai kepala negara dan pemerintahan Presiden mengevaluasi praktek pengelolaan APBN di berbagai kementerian/lembaga negara yang tidak memberikan manfaat bagi kepentingan orang banyak.
Krisis dan Kepemimpinan
Setelah mengambil alih kepemimpinan dari tangan Presiden Joko Widodo yang memerintah selama 10 tahun (2014-2024), Presiden RI Prabowo Subianto menghadapi berbagai tantangan ekonomi dan politik. Secara politik, tidak bisa dielakkan dan bahkan diakui Presiden RI Prabowo Subianto keterpilihannya dalam Pemilihan Presiden secara langsung juga terdapat faktor Presiden RI sebelumnya. Makanya, dalam susunan kabinet Indonesia Maju sebagian besar masih ditempati oleh para Menteri yang merupakan loyalis mantan Presiden RI Joko Widodo. Kompromi dan akomodasi politik Pilpres ini tidak ayal membuat postur kabinet Indonesia Maju menjadi "gemuk" atau tidak efektif dan efisien.
Makna jasmaniah bulan suci Ramadan dan Idul Fitri secara kebangsaan yang pertama, yaitu langkah akomodasi "masa lalu" ini harus diambil dan masih masuk akal (rasional) dalam perspektif demokrasi kapitalisme-liberalisme transaksional yang berlaku pasca reformasi agar transisi kepemimpinan dan krisis politik dapat ditekan seminimal mungkin.
Dengan demikian kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto diharapkan mampu mempertahankan stabilitas politik pemerintahan sedari awal untuk mencapai visi-misi Asta Cita dan tujuan berbangsa dan bernegara demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Diantara misi prioritas Asta Cita yang terpenting (nomor 1) adalah memantapkan ideologi Pancasila dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dapat ditegakkan secara konsisten.
Makna kedua, yaitu kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto dibangun atas fondasi menahan diri dan tidak mementingkan kepentingan diri pribadinya beserta keluarganya. Hal ini merujuk pada pernyataan yang pernah disampaikan saat kampanye Pilpres pada tahun 2019 dan 2024 lalu, bahwa hidup dirinya sudah selesai. Artinya, akan lebih berkonsentrasi bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara atau menjauhkan tindakan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang telah menggejala dalam kehidupan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini telah dibuktikan pula dengan komitmen melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, beberapa kasus korupsi sangat besar ratusan triliun mulai diproses secara hukum.
Publik tentu menanti kelanjutan proses dan penyelesaian kasus-kasus KKN tersebut sampai putusan hukuman pengadilan secara adil dan wajar. Atau tidak hanya menjadi sebuah pertunjukkan citra dimuka umum yang hanya mengungkap kasus korupsi jumbo seperti yang terjadi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PN. Timah dan Pertamina yang berjumlah lebih dari Rp1.000 triliun. Posisi kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto dalam perspektif makna rohaniah puasa Ramadhan dan Idul Fitri akan diuji dalam penyelesaian kasus korupsi tersebut. Mampukah Presiden RI Prabowo Subianto memenuhi komitmennya atas telah selesai hidupnya dalam sebuah kepemimpinan yang adil?
Selain itu, dalam perspektif ekonomi konstitusi Presiden RI telah berkomitmen dalam Asta Cita akan lebih memperhatikan perekonomian sebagian besar rakyat Indonesia. Hal mana ini termaktub dalam prioritas visi-misi Asta Cita yang ke-2 dan 3 dengan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air serta mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, agro-maritim industri di sentra produksi melalui peran serta aktif koperasi. Artinya, Presiden RI Prabowo Subianto tahu betul permasalahan ekonomi rakyat Indonesia secara sektoral beserta kontribusinya (UMKM) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang mencapai lebih dari 60 persen (tahun 2024 61 persen) atau sekitar Rp9.300 triliun.
Tidak hanya itu, skala Usaha Menengah, Kecil dan Mikro ini juga tahan terhadap goncangan krisis ekonomi yang berulang kali telah terjadi. Tidak banyak merengek meminta bantuan kepada pemerintah sebagaimana usaha para korporasi (taipan) yang harus diselamatkan melalui skema BLBI-KLBI lebih dari Rp147,7 triliun dan sampai saat ini negara masih menanggungnya. Untuk itulah, komitmen Presiden RI Prabowo Subianto ini harus didukung penuh oleh masyarakat Indonesia karena jelas akan menegakkan sistem ekonomi konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 asli.
Jangan lagi, komitmen ini hilang begitu saja tanpa kebijakan pemihakan (afirmatif) yang berarti dan hanya untuk bagi-bagi uang tanpa kemanfaatan yang jelas dan terarah bagi perekonomian bangsa dan negara.
Kepemimpinan yang dicontohkan oleh para sahabat Nabi (pasca Rasulullah tiada) semoga betul-betul menjadi inspirasi Presiden RI Prabowo Subianto dalam mengemban amanahnya. Intinya, yaitu makna jasmaniah dan rohaniah bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri bagi sebuah kepemimpinan negara, yaitu tidak memperkaya diri dan keluarga serta penuh pengorbanan harta benda. Sebagaimana hal ini telah ditauladankan diantaranya oleh khalifah Abu Bakar Asshidiq dan Abdurrahman bin Auf.
Justru, saat kedua khalifah yang kaya raya dari hasil menjadi saudagar ini tatkala memimpin pemerintahan Islam kekayaan beliau semakin berkurang menjurus miskin sebagai bentuk tanggung jawab menjalankan amanah. Jika ini mampu diterapkan oleh Presiden RI Prabowo Subianto, maka krisis ekonomi dan politik dapat dihindari sebagaimana halnya dulu khalifah Abu Bakar Asshidiq mengatasinya.
*Penulis adalah Ekonom Konstitusi
© Copyright 2025, All Rights Reserved