Kenaikan Tarif Impor Bukanlah Gertakan

ESTIMASI Produk Domestik Bruto (PDB) harga berlaku di tingkat dunia sebesar 115,49 triliun Dolar Amerika Serikat (AS) tahun 2025 (WEO IMF, 2025) berdasarkan perhitungan atas database Oktober 2024. Kemudian PDB Indonesia sebesar 1,49 triliun Dolar AS (1,29% PDB dunia).
Artinya, secara umum ketergantungan Indonesia terhadap perubahan dan ketidakpastian perekonomian dunia sangat besar. Perekonomian di Indonesia dipengaruhi, bukanlah mempengaruhi secara signifikan terhadap perekonomian dunia.
PDB AS sebesar 30,34 triliun Dolar AS, atau sebesar 26,27% dibandingkan PDB dunia. Artinya, peran AS besar sekali di tingkat dunia. Kemudian neraca perdagangan AS ke dunia sebesar defisit negatif 1,29 triliun Dolar AS tahun 2024 dari sumber International Trade Centre berdasarkan perhitungan dari database UN COMTRADE dan BPS Januari tahun 2015.
Neraca perdagangan antara China dengan AS sebesar defisit minus 0,32 triliun Dolar AS tahun 2024. Implikasinya adalah perang tarif impor menghendaki, agar China bersedia mengimpor dari AS minimal senilai 0,32 triliun Dolar AS.
Artinya, hal itu sebesar 24,81% dari persoalan defisit neraca perdagangan AS di tingkat dunia. Proporsi tersebut menjelaskan tentang betapa besar persoalan tuntutan perbaikan neraca perdagangan AS terhadap China.
Tentu saja sesungguhnya China sangat bergantung terhadap ekspor produk China ke AS. Tuntutan AS, agar China mengimpor produk sebesar minimal 0,32 triliun Dolar AS adalah nilai perdagangan yang sangat besar.
Implikasinya, pertama pemberlakuan tarif impor oleh AS terhadap eksportir China membuat China musti mencari pasar ke negara lain sebagai kegiatan re-ekspor untuk mencegah kebangkrutan produsen dalam negeri. Sebaliknya, jika China bersedia menerima impor dari AS yang sebesar itu, maka banjir impor dari AS juga akan membuat pasar dalam negeri China kebanjiran produk dari AS, sekalipun harga ekspor produk tergolong lebih mahal sebagai konsekuensi atas perbedaan faktor bawaan harga sewa tanah, modal, dan upah yang di AS secara umum lebih tinggi di China.
Oleh karena itu prediksi bahwa China akan menjadi dominan dan sebagai pemenang di tingkat perdagangan dunia terhadap perang dagang pemberlakuan tarif tinggi sesungguhnya lebih merupakan propaganda dari buzzer pro China terhadap AS. Dengan nilai perdagangan yang sebesar itu, maka AS seyogyanya dapat secara leluasa menjual produk berteknologi tinggi untuk dapat “dipaksakan” diterima dan dijual di China.
Dipaksakan untuk dibeli oleh penduduk atau negara China, sedangkan China dipastikan akan merasakan betapa lebih mahal barang dan jasa produk AS atas dasar perbedaan faktor bawaan tersebut di atas.
Hubungan perdagangan menjadi bukan atas dasar sukarela free trade, melainkan atas dasar tuntutan fair trade keseimbangan neraca perdagangan, namun mengabaikan prinsip-prinsip dasar dari praktik spesialisasi pekerjaan, keunggulan absolut, keunggulan komparatif, dan keunggulan kompetitif.
Ini menjelaskan tentang mengapa China sangat keras dalam melawan pemberlakuan tarif impor dari AS.
Betapa keras China melawan tuntutan fair trade versi Donald Trump itu menunjukkan tentang betapa besar kesulitan China untuk menyerap impor dari AS yang minimal ditargetkan senilai 0,32 triliun Dolar AS, atau pun untuk melakukan re-ekspor ke negara-negara lain, yang bukan atas dasar sistem perdagangan yang bersifat sukarela dan persaingan sempurna.
China melawan AS dengan cara menaikkan tarif impor, bahkan menghentikan produk impor tertentu dengan maksud, agar harga produk ekspor menjadi semakin mahal dan pasokan China berhenti, sehingga konsumen rakyat AS yang mengonsumsi produk buatan China menjadi sangat marah kepada pemberlakuan kebijakan tarif impor Donald Trump.
Sedemikian marah sehingga bukan hanya masyarakat AS menuntut pembatalan pemberlakuan tarif impor, melainkan menuntut impeachment sekalipun sungguh amat sulit untuk berhasil dalam melakukan impeachment kepada Donald Trump.
Akan tetapi untuk mengurangi dampak negatif “blokade” dari China, maka pemerintah AS sejak awal memberlakukan perbedaan besar tarif impor antar negara secara bilateral, sehingga berharap mempunyai alternatif aliran produk dari negara-negara lain untuk mengeliminasi produk buatan China.
Persoalannya adalah seberapa efektif keberhasilan atas eliminasi produk buatan China di AS akan menentukan tentang bagaimana dan kapan ujung akhir transaksi dan negosiasi dari perang tarif kedua negara yang saling bersaing tersebut.
Kemudian neraca perdagangan Indonesia ke AS surplus sebesar 14,37 miliar Dolar AS tahun 2024. Jumlah surplus tersebut yang diminta oleh AS untuk minimal menjadi neraca perdagangan yang seimbang.
Dengan kata lain, AS menuntut Indonesia mengimpor produk-produk sebesar minimal 14,37 miliar Dolar AS. Sebagaimana masalah perdagangan yang dialami China, maka Indonesia bukan hanya musti membeli produk AS, melainkan juga segera menjadi sasaran dari produk China maupun banjir impor dari negara-negara lain yang mengalami tuntutan perbaikan kesimbangan neraca perdagangan AS.
Artinya, masalah perang dagang dan tuntutan fair trade bukanlah sekadar gertakan, melainkan sesungguhnya mempunyai implikasi sebagai suatu konsekuensi “paksaan” masuknya produk bukan hanya dari AS, melainkan juga terhadap kegiatan re-ekspor dan impor dari China, maupun dari negara-negara lain yang berdagang dengan AS.
Jadi persoalan yang terjadi bukanlah sebagai persoalan yang sederhana remeh-temeh, karena masalah daya saing produk dalam negeri Indonesia yang kebanyakan masih memerlukan banyak perlindungan dari pemerintah terhadap persaingan produk impor, termasuk masalah barang ilegal impor dan penyelundupan.
Jadi, maksud pemerintah Indonesia untuk mempraktikkan penghapusan kuota impor, penurunan tarif impor, dan penghapusan TKDN tidak dapat serba dimudahkan seperti itu begitu saja. Sebab, produk impor yang dipaksakan dengan harga beli yang relatif mahal itu tetap saja akan menimbulkan masalah persaingan usaha yang tergolong berat terhadap produk lokal dalam negeri, terlebih jika terjadi masalah dumping.
Hal itu, karena telah terjadi migrasi lokal dan ke luar negeri pada beberapa pabrik-pabrik di Indonesia, yang menimbulkan PHK.
*Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2025, All Rights Reserved