PP Perjanjian Kerja Laut Mendesak Diterbitkan

KONDISI ketidakjelasan dan ketiadaan dasar hukum yang kuat terkait Perjanjian Kerja Laut (PKL) merupakan akar permasalahan utama dalam lanskap ketenagakerjaan awak kapal di Indonesia. Praktik keberadaan draf baku PKL yang beredar tanpa landasan hukum yang jelas di berbagai Syahbandar di seluruh negeri adalah simptom dari kekosongan regulasi yang telah berlangsung terlalu lama.
Situasi ini menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan, terutama bagi awak kapal yang seringkali berada dalam posisi yang rentan.
Amanat Pasal 153 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024) secara tegas menginstruksikan pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perjanjian Kerja Laut. Mandat ini bukanlah hal baru, mengingat amanat serupa telah ada sejak tahun 2008 namun sayangnya belum terealisasi hingga saat ini. Kelalaian dalam menerbitkan PP ini telah menciptakan carut-marut dalam praktik ketenagakerjaan di sektor pelayaran.
Penerbitan PP tentang PKL memiliki urgensi yang sangat tinggi karena beberapa alasan krusial:
Pertama, mewujudkan Kepastian Hukum yang Fundamental: PP PKL akan menjadi landasan hukum yang jelas dan mengikat bagi setiap perjanjian kerja antara awak kapal dan pemilik kapal. Ini akan mengakhiri praktik draf baku yang tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti dan memastikan bahwa setiap PKL disusun berdasarkan aturan yang sah.
Kedua, mempertegas Status dan Hak Awak Kapal: Dengan adanya PP PKL, status awak kapal sebagai pekerja akan diperjelas dan dipertegas. Hal ini akan melindungi hak-hak mereka sesuai dengan prinsip-prinsip ketenagakerjaan yang berlaku, termasuk hak atas upah yang layak, jam kerja yang manusiawi, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang aman.
Ketiga, menjadi Pilar Utama PP Ketenagakerjaan Awak Kapal: PP PKL akan menjadi aturan pelaksana yang esensial bagi Pasal 337 ayat (2) UU No. 66 Tahun 2024 yang menjelaskan bahwa Ketentuan ketenagakerjaan di bidang Pelayaran berlaku secara umum terhadap pekerja selain Awak Kapal. Ketentuan ketenagakerjaan untuk Awak Kapal berdasarkan Perjanjian Kerja Laut secara khusus diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang lWet Borepublilek Van Kooplnnd.eli, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention, 2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, 2006), dan semua peraturan bidang Pelayaran. Tanpa PKL yang jelas, akan sulit untuk mengatur aspek-aspek ketenagakerjaan awak kapal secara komprehensif .
Keempat, memfasilitasi Penyelesaian Perselisihan yang Adil: Keberadaan PP PKL akan memberikan pedoman yang jelas bagi hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam menangani perselisihan ketenagakerjaan awak kapal. Dengan adanya dasar hukum yang kuat terkait isi dan pelaksanaan PKL, putusan pengadilan akan lebih adil dan berkepastian.
Kelima, mengakhiri Kebingungan Para Stakeholder: Penerbitan PP PKL akan mengakhiri kebingungan dan ketidakpastian yang selama ini dirasakan oleh seluruh stakeholder di dunia pelayaran Indonesia, termasuk awak kapal, perusahaan pelayaran, regulator, dan aparat penegak hukum.
Kesimpulan dan Seruan Tindakan
Penundaan lebih lanjut dalam penerbitan PP tentang Perjanjian Kerja Laut adalah kerugian besar bagi sektor pelayaran Indonesia dan khususnya bagi kesejahteraan awak kapal. Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab mendesak untuk segera merealisasikan amanat undang-undang ini.
Langkah konkret dan cepat dalam menyusun dan menerbitkan PP PKL adalah kunci utama untuk menata ulang lanskap ketenagakerjaan awak kapal Indonesia. PP ini akan menjadi fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan kerja yang adil, transparan, dan berkepastian hukum di sektor maritim. Pemerintah harus menjadikan penerbitan PP PKL sebagai prioritas utama demi kemajuan sektor pelayaran dan perlindungan para pahlawan laut Indonesia.
*Penulis adalah Sekjen Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja SAKTI
© Copyright 2025, All Rights Reserved