Paradoks Presiden Prabowo

SERATUS hari kerja implementasi program populis Presiden Prabowo masih meraba-raba bisa dimaklumi. Tetapi, jika genap satu semester tanpa arah jelas, beralasan publik mulai meragukan kepemimpinannya.
Presiden Prabowo diwarisi beban fiskal sangat berat. Kondisi yang menuntut sikap pragmatis ketika menjalankan kebijakan publik. Pragmatis artinya mengambil pilihan paling memungkinkan di tengah realitas yang ada. Namun, Presiden Prabowo tetap ambisius memaksakan program populis yang hasilnya sulit diukur.
Bloomberg (11/4/2025) melaporkan konglomerat Indonesia memindahkan aset ke luar negeri mencapai ratusan juta dollar Amerika Serikat. Tak ayal, kurs rupiah terhadap dollar terdepresiasi. Bahkan devaluasi nilai rupiah terendah pasca krisis moneter 1998. Pukulan telak di tengah ekonomi global memburuk dampak perang tarif yang dikeluarkan Donald Trump.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meradang hingga dilakukan penghentian perdagangan (trading halt) untuk menghindari kontraksi lebih dalam. Fenomena yang menggambarkan kekhawatiran pelaku pasar terhadap iklim usaha.
Program populis Presiden Prabowo bukan langkah salah kalau didukung kredibilitas kelembagaan di ranah operasional dan ketersedian Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang memadai.
Faktanya, defisit APBN membengkak menuntut Kementrian Keuangan kembali menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Total realisasi dari kuartal pertama dan target kuartal kedua sampai bulan Juni 2025 jumlah penarikan utang baru negara sekitar Rp 472,6 triliun atau 73,54% dari target penerbitan SBN tahun 2025. Sementara pembayaran utang jauh tempo pemerintah tahun 2025 sebesar 800,33 triliun rupiah.
Bank Indonesia (BI) melalui instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga menambah porsi utang luar negeri. Ketergantungan terhadap utang untuk menambal defisit rentan memengaruhi instabilitas moneter dalam kondisi sarat ketidakpastian ekonomi global.
Program-program populis tidak sekadar menggerogoti APBN, di ranah operasional justru memperumit kepercayaan pasar. Program 80.000 Koperasi Desa, misalnya, yang melibatkan bank Himbara. Koperasi merupakan manifestasi perusahaan yang didirikan atas inisiatif dari bawah sesuai nilai-nilai kemandirian (selfhelp) dan gotong royong (mutualhelp).
Pembentukan Koperasi Desa bersifat instruksi presiden (top-down) mengingatkan kita dengan kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) di masa lalu. Potensi kegagalan Koperasi Desa, apalagi kalkulasi total permodalannya 400 triliun rupiah dari pinjaman bank Himbara ini memperparah sentimen negatif harga saham semua bank Himbara.
Presiden Prabowo seharusnya belajar banyak dari Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Pemerintahan Orde Baru mampu membalikan keadaan ekonomi yang didera inflasi 650 persen di akhir rezim Orde Lama menjadi 47 persen pada akhir Pelita I.
Pak Cum panggilan akrab Prof. Soemitro Djojohadikusumo terlibat langsung merekontruksi struktur perekonomian nasional. Investasi tumbuh karena kepercayaan pasar naik menopang sektor riil dan industrialisasi dalam negeri yang pada gilirannya membuka lapangan kerja.
Keputusan deregulasi dan debirokratisasi yang ramah kepada investor. Pak Cum lalu menggagas super-holding BUMN. Super-holding BUMN dimaksudkan berbeda dengan Danantara sekarang akumulasi dividen BUMN untuk diinvestasikan di pasar modal dan proyek-proyek padat modal, melainkan stimulus permodalan koperasi dan UMKM serta infrastruktur dasar agar terjadi akselerasi pembangunan yang sulit dipenuhi oleh keterbatasan APBN.
Tampak paradoks arah jalan yang diambil antara Presiden Prabowo dengan Pak Cum. Tentu, kita tidak rela ke depan Presiden Prabowo semakin terperosok semakin jauh. Kesempatan masih ada mengevalusi langkah keliru yang sudah diambil.
Setiap kebijakan Presiden Prabowo harus dilandasi konsep matang, dan hal itu mensyaratkan lingkaran istana dihuni orang-orang berpikir, bukan mengutamakan keseragaman cuma pandai mengangguk.
Ingat, tantangan kian berat. Problem ekonomi sudah menggerus kelas menengah. Daya beli turun, lapangan pekerjaan sulit, dan dunia menuju unilateral. Jawabannya tidak seperti mengatasi kelas bawah cukup diberi jargon bombastis dan bantuan sosial.
Kelas menengah mengharapkan perbaikan pelayanan publik semua sektor. Andai kita abai, fenomena Chili paradoks terjadi di Indonesia yang dapat mendelegitimasi Presiden Prabowo.
*Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik
© Copyright 2025, All Rights Reserved