Mozaik Kebhinekaan Tengah Hadapi Tantangan

Di tengah hiruk-pikuk politik belakangan ini, ada kekhawatiran cita-cita berbangsa dikhianati. Kebangsaan Indonesia masih menghadapi persoalan dan tantangan. Bahkan, tantangan yang muncul sekarang ini karakternya berbeda, terdapat pengaruh dan kekuatan multinasional, baik dalam aspek ekonomi, politik dan ideologi.
Cendekiawan dan Pejuang Pendidikan Komaruddin Hidayat mengatakan tantangan lain yang juga bisa menjadi penghalang serius bagi cita-cita bangsa adalah munculnya fenomena dunia maya yang melahirkan a global networking society yang cair tanpa batas. Sehingga menimbulkan logika pasar dengan kalkulasi untung dan rugi secara material menjadi dominan. Akibatnya, sekelompok orang lebih merasa perlu pada paspor dan kartu kredit ketimbang kartu tanda penduduk (KTP).
"Melihat fenomena seperti itu, saat ini jaringan internet telah menjadi kebutuhan vital layaknya kita menghirup udara. Sekelompok orang selalu mengantungkan hidupnya dengan internet untuk bersosialisasi hingga berbisnis," katanya kepada politikindonesia.com disela-sela acara Diskusi HUT ke-6 Aliansi Kebangsaan bertema, "Etos Kejuangan Dalam Menghadapi Tantangan Indonesia Masa Kini", di Jakarta, Sabtu (19/11).
Dijelaskan, sesungguhnya masyarakat Indonesia dikenal sangat mencintai budaya dan tanah airnya. Apalagi, Indonesia kaya akan budaya, sumber alam dan bahasa nasionalnya. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana membangun kebanggaan berbangsa, terutama bagi generasi muda. Sebenarnya, kebanggaan akan muncul jika banyak role model dan prestasi yang diakui dunia.
"Sesungguhnya bangsa ini haus akan prestasi yang membanggakan, tidak seimbang dengan aset yang dimiliki. Apalagi, Indonesia sebagai entitas bangsa yang utuh dan solid. Sehingga harus diwujudkan dan diperjuangkan dari generasi ke generasi," ujarnya.
Menurutnya, sebelum merdeka 17 Agustus 1945, di Nusantara ini sudah muncul peradaban agung yang dikembangkan dan dijaga oleh pranata sosial dan institusi negara berupa kerajaan dan kesultanan. Oleh karena itu, dalam motto Bhinneka Tunggal Ika terkandung penghargaan, pengakuan dan komitmen untuk menjaga pluralitas budaya dan agama yang ada. Sehingga Indonesia merupakan tamansari kebudayaan, bukan saja tamansari kekayaan hewani dan nabatinya yang sedemikian kaya dan memikat.
"Seharusnya Indonesia memiliki jatri diri dan identitas kebangsaan yang solid. Para pendiri bangsa sangat cerdas, bijak dan visioner telah meletakkan dasar bernegara yang terumuskan dalam Pembukaan UUD’45 dan Pancasla. Sementara muncul gelombang demokratisasi yang diikuti desentralisasi kekuasaan dan ekonomi yang tidak diikuti dengan kesiapan mental dan wawasan bernegara secara rasional. Sehingga yang mengemuka adalah hiruk pikuk menyuarakan hak kebebasan tanpa dibarengi ketaatan pada hukum," paparnya.
Belakangan ini, lanjut Komarudin, menyangkut SARA merengsek ke panggung politik kenegaraan, akibat sepercik api yang membakar rumah bangsa. Situasi memang agak dilematis, sebagai negara hukum pemerintah mesti konsisten dan tegas menegakkan aturan dan kaidah hukum yang berlaku. Siapapun yang bersalah harus diproses secara fair. Jika Ahok terbukti bersalah, maka harus dijatuhi hukuman demi memenuhi rasa keadilan. Tapi masyarakat harus legowo dan fair, jika pihak penegak hukum menyatakan Ahok tidak memenuhi bukti melakukan tindak pidana.
"Maka masyarakat jangan memaksakan pendapat secara tirani. Kalau mau fair, sesungguhnya isu dan pandangan bahwa umat Islam tidak boleh memilih Bupati atau Gubernur non muslim, mestinya juga berlaku di luar kota Jakarta mengingat koalisi partai yang bernuansa agama pernah juga mengusung jagonya yang non muslim. Tapi rupanya Pilkada DKI memiliki anatomi politik tersendiri," sebut Komarudin.
Dia memaparkan, dirinya khawatir mozaik kebhinnekaan Indonesia tercabik-cabik karena permainan api yang potensial. Hal itu mengingat pengalaman di Timur Tengah, bahkan tidak saja robek kohesi sosial yang sudah lama terbangun. Malahan pecah berantakan dan sebagian sulit dirajut kembali. Kekuatan asing terlibat masuk dengan dalih membantu dan menolong.
"Padahal, memancing di air keruh, menjual senjata untuk mendukung industri senjata sebagai sumber devisa negaranya. Bahkan ada yang menjadikan perang sebagai proyek politik dan ekonomi," imbuhnya.
Sementara itu Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan, dalam perayaan HUT ke-6 ini, Aliansi Kebangsaan merasakan perlunya membangkitkan kembali semangat berjuang untuk cita-cita pendiri bangsa, yaitu merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Maka, diskusi akbar ini digagas dengan harapan para pembicara yang begitu piawai dalam perjuangan kebangsaan di berbagai bidangnya berkenan untuk mentransformasikan keilmuan serta pengalaman kepada para peserta diskusi dari berbagai latarbelakang.
"Kami meyakini bahwa menemukan etos kejuangan untuk mewujudkan cita-cita merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur merupakan suatu keniscayaan. Sehingga hal ini menjadi sebuah kegelisahaan tentang masa depan bangsa yang melenceng dari cita-cita para pendiri bangsa untuk mewujudkan cita-cita merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," imbuhnya.
Lebih lanjut, Pontjo mengungkapkan, Indonesia sebagai negar kepulauan yang 70 persennya adalah lautan. Panggilan nenek moyang adalah seorang pelaut, merupakan bukti sekaligus harapan bahwa masa depan rakyat dan bangsa Indonesia ada ditengah gelombang yang terjanjikan. Dengan demikian, untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan rakyat sesungguhnya terletak pada kemampuan bangsa ini dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
"Kami merasakan perlunya membangkitkan kembali semangat berjuang untuk cita-cita pendiri bangsa dan sekaligus mengelola dan mengolahnya untuk terwujudnya kesejahteraan bersama. Karena persoalan kebangsaan ini tidak mudah dipahami dengan semangat kebangsaan bisa naik bisa turun," pungkasnya.
© Copyright 2025, All Rights Reserved