Menyadarkan Trump Secara Global

SEBAGAIMANA yang diduga sejak semula, jika Donald Trump terpilih kembali untuk kedua kali, maka yang segera dipraktikkannya adalah mengubah dari paradigma globalisasi perdagangan bebas menjadi melegendakan proteksionisme.
Apa yang dipraktikkan Trump itu ternyata diperkuat pada periode kepemimpinannya pada putaran kedua.
Perdagangan bebas adalah suatu konsep meniadakan hambatan tarif dan non tarif, baik impor dan ekspor di antara negara yang melakukan perjanjian perdagangan lintas negara di antara negara-negara yang membentuk kesepakatan perdagangan.
Pada awalnya tidak mudah untuk membangun perdagangan bebas. Yang terjadi adalah pembentukan perdagangan bebas antar kawasan, antar kelompok negara yang berkepentingan, bahkan bilateral antar negara.
Secara umum perdagangan bebas lebih menguntungkan hubungan perdagangan antar negara yang terlibat dibandingkan negara-negara yang menolak perdagangan bebas, jika dibandingkan kondisi autarki tanpa melakukan perdagangan maupun dibanding jika memaksimumkan proteksionisme hambatan tarif dan non tarif secara maksimum sekali pun.
Negara yang terlibat kegiatan perdagangan bebas akan menikmati posisi manfaat perdagangan yang saling diuntungkan, meskipun besar manfaat dapat berbeda.
Meskipun demikian, pihak-pihak yang berkepentingan berdagang dalam negara tersebut masing-masing di dalam negeri ada yang tersakiti sebagai akibat dari perubahan dari paradigma proteksionis menjadi serba menuju pasar bersaing sempurna.
Pengusaha yang kuat dan paling produktif semakin diuntungkan oleh perdagangan bebas. Meskipun demikian, pada perdagangan bebas masih diperkenankan kepada negara yang terlibat untuk melakukan kegiatan perlindungan safeguard untuk alasan melindungi usaha mikro dan kecil, maupun atas alasan industri yang masih lemah untuk durasi waktu tertentu yang sangat panjang sesuai kesepakatan kerja bersama lintas negara.
Atas dasar paradigma tersebut, kemudian yang terjadi di Amerika Serikat (AS) terkesankan terjadi perubahan dari negara eksportir netto menjadi negara importir netto. Terjadi deficit perdagangan barang dan jasa selama berpuluh tahun sejak dimulainya pembangunan konsep dan praktik perdagangan bebas.
Sebenarnya fenomena defisit neraca perdagangan bukanlah suatu yang buruk, karena masyarakat AS menikmati konsumsi barang dan jasa yang telah diproduksi negara eksportir secara relatif lebih murah, jika dibandingkan penduduk AS ketika memproduksi sendiri menggunakan faktor produksi dari dalam negeri maupun dari sumber impor.
Persoalannya kemudian pemerintahan AS mengalami fenomena government shutdown berkali-kali. Kesenjangan pendapatan sangat tinggi. Media sosial YouTube melaporkan penduduk homeless berada di mana-mana pada berbagai negara bagian di AS, selain penduduk terkaya yang bermukim di kawasan elite.
Penduduk yang menganggur dan sebagian menderita narkoba banyak ditemukan sebagaimana terjadinya fenomena homeless tersebut. Kasus penembakan brutal dan pertikaian etnis juga relatif terjadi.
Masih banyak terjadi persoalan yang dihadapi AS, kemudian jargon Trump untuk membangkitkan AS berjaya kembali mendapat dukungan kemenangan secara luas dalam pemilu baru-baru ini.
AS adalah negara besar. Demikian pula dengan Rusia, yang Presiden Vladimir Putin pernah memutuskan untuk meminta kembali Ukraina bergabung ke Rusia. Akibat gagasan Putin tersebut, terjadi gejolak hebat di bidang perekonomian dunia, termasuk urusan perang di antara negara yang bertikai secara langsung antara Rusia dan Ukraina maupun negara-negara pendukungnya secara tidak langsung.
Demikian pula atas maksud perubahan paradigma yang dipraktikkan oleh Trump. Sebanyak 180 negara dilakukan kenaikan tarif impor rata-rata 10%, kemudian Trump melakukan kebijakan balasan untuk menaikkan tarif impor sesuai, bahkan jauh lebih besar dibandingkan negara-negara yang memberlakukan tarif impor kepada AS.
Secara sangat sederhana, suatu negara dapat mengekspor netto ke negara lainnya, jika harga keseimbangan kurva penawaran dan permintaan berada senantiasa pada posisi yang lebih rendah dibandingkan negara pengimpor.
Kondisi tersebut selain dalam bentuk keberadaan tarif impor dan hambatan non tarif, yang membuat perdagangan barang dan jasa mengalir dari titik harga kesimbangan negara pengekspor ke negara pengimpor.
Jadi yang dipraktikkan oleh Trump secara sangat mudah dan sederhana adalah dengan cara memberlakukan tarif rata-rata maupun tarif impor balasan untuk mengubah harga keseimbangan perdagangan antar negara pada negara yang semula berperan sebagai pengekspor menjadi senantiasa di atas harga keseimbangan AS per komoditas, sehingga secara teoritis akan berubah menjadi negara pengekspor netto dunia.
Bukan menjadikan sebagai negara autarki sebelum terjadi perdagangan antar negara, juga bukan untuk membangun model ekonomi keseimbangan perdagangan antar negara tingkat dunia, melainkan sekali lagi untuk membalikkan posisi dari negara pengimpor barang dan jasa tingkat dunia untuk menjadi negara pengekspor netto tingkat dunia.
Wow, sungguh gagasan yang bombastis.
Rupa-rupanya fenomena untuk membangun opini AS sebagai polisi dunia sudah tidak lagi menjadi kebanggan Trump, bahkan Trump secara demonstratif terkesankan mendorong Ukraina untuk menghentikan peperangan antara Ukraina dengan Rusia.
Setidaknya demikian yang dipraktikkan Trump, sekalipun standar ganda AS masih berlaku dalam dukungan secara langsung dan tidak langsung terhadap pertikaian antara Israel dengan Palestina. Trump terobsesi untuk mengubah sebagai negara yang semula melembagakan perdagangan pasar bebas untuk berubah menjadi negara proteksionis terbesar di tingkat dunia.
Berdasarkan data dari IMF terbaru, jumlah penduduk AS diprediksi sebanyak 336,8 juta jiwa pada tahun 2025. Jumlah tersebut masih berada jauh di bawah China, namun lebih banyak dibandingkan Indonesia.
Sehingga untuk menjadi negara eksportir netto dunia, dukungan teknologi tinggi dan kerja sama tenaga kerja lintas dunia menjadi persyaratan utama AS untuk membanjiri dunia menggunakan taktik sebagai eksportir netto.
Tingkat pengangguran di AS sebesar 4,08% dibandingkan jumlah angkatan kerja. Sebenarnya tingkat pengangguran di AS masih relatif rendah dibanding di negara-negara lainnya, sehingga pengangguran dan tampilan YouTube tentang homeless sebagai suatu alasan untuk membangkitkan AS lebih berfungsi sebagai alat propaganda semata. Penting, namun bukan itu sebagai motif yang utama.
Volume ekspor perdagangan barang dan jasa AS diprediksi tumbuh sebesar 2,5% tahun 2025. Sebaliknya volume impor barang dan jasa mereka tumbuh sebesar 1,79% pada prediksi tahun yang sama.
Volume impor barang tumbuh 1,6% dan volume ekspor barang tumbuh sebesar 4,19%.
Maknanya, sesungguhnya tidak ada urgensi menggunakan taktik mengubah dari negara eksportir yang tumbuh lebih tinggi dibanding sebagai negara importir dengan cara menaikkan tarif impor adalah suatu argumentasi omong kosong juga, melainkan lebih bermotif untuk melipatgandakan superioritas AS sebagai negara besar super power tingkat dunia menggunakan taktik proteksionisme.
Sama sekali tidak ada argumentasi krisis untuk membangun kejayaan AS, selain dari urusan kapitalisme dan ambisi Trump dalam lebih menguasai dunia.
Untuk alasan memperbaiki laju inflasi juga bukan, karena prediksi laju inflasi AS sebesar rata-rata 1,85% tahun 2025, yakni lebih rendah dibandingkan tahun 2024 yang sebesar 4,7% per tahun.
Juga bukan karena alasan perbaikan neraca pembayaran yang defisit sebesar minus 3,078% dari PDB tahun 2025. Namun antara lain yang merupakan alasan penting untuk perbaikan utang netto AS sebesar 101,69% PDB, namun masalah utang yang besar ini sama sekali bukan hanya masalah, terlebih terkesan sebagai alasan utang dari kapitalis kantong kiri ke kantong kanan.
Masalah utang ini juga bukanlah menjadi masalah sebagai motif memperbaiki kinerja pemerintahan AS dalam kepemimpinan Donald Trump secara terbuka lebar-lebar.
Penyelesaian masalah utang ini, juga bukanlah cara terbaik dengan menaikkan tarif impor sedunia dan mengubah persaingan bebas menjadi perang dagang sebagai taktik semua dari politik perang dagang tingkat dunia. Mari kita sadarkan Trump secara global.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2025, All Rights Reserved