Keuskupan Agung Ende Tolak Pembangunan Geothermal

Keuskupan Agung Ende (KAE) tegas menolak proyek pembangunan panas bumi (geothermal) di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Penolakan disampaikan setelah sebelumnya pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (ESDM-EBTKE), PT PLN, serta beberapa pihak terkait lainnya melakukan kunjungan ke pihak Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD (Societas Verbi Divini) beserta jajarannya pada Sabtu (15/3/2025).
Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk membicarakan proyek pembangunan pembangkit listrik geothermal di wilayah Flores.
Dalam pertemuan tersebut, Kementerian ESDM-EBTKE dan PLN memaparkan beberapa poin penting dan merespons keprihatinan Uskup Agung Ende terkait dengan program-program pemerintah yang berhubungan dengan proyek pembangunan geothermal di wilayah Flores.
Kementerian ESDM-EBTKE dan PLN juga memaparkan kondisi dan sistem kelistrikan yang ada di Pulau Flores dan juga pembangkit listrik yang sedang dikembangkan.
Namun sikap Keuskupan Agung Ende ternyata tak berubah. Keuskupan dengan tegas menolak pembangunan proyek geothermal di wilayah Flores.
"Sikap Gereja KAE yang telah disampaikan pada 6 Januari 2025, dan ditegaskan kembali melalui Surat Gembala Tahun Yubileum 2025 serta Surat Gembala Prapaskah 2025, adalah menolak proyek pembangunan geothermal di wilayah Flores," demikian disampaikan Vikaris Jenderal KAE, RD Frederikus Dhedu dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa (17/3/2025).
Menurut Frederikus, ada empat aspek yang menyangkut sosial, ekonomi dan lingkungan di wilayah KAE yang menjadi dasar penolakan ini. Berikut empat alasan tersebut:
Pertama, wilayah Keuskupan Agung Ende terdiri dari gunung dan bukit, serta menyisakan lahan yang terbatas untuk permukiman dan pertanian warga.
Kedua, dari aspek mata pencaharian, hampir 80 persen 80 persen umat KAE adalah petani. Usaha pertanian di KAE sangat tergantung pada curah hujan. Sebab sumber air (permukaan) tanah tidak banyak.
"Pemanfaatan sumber daya air yang tidak tepat dapat berujung pada kerusakan dan kelangkaan air serta berpotensi besar menimbulkan masalah sosial di tengah umat," kata Frederikus.
"Terakhir, dari aspek budaya, pertanian membentuk kebudayaan dan tradisi umat di wilayah KAE yang terungkap antara lain melalui struktur sosial dan ritus-ritus tradisional," pungkasnya. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved