UUD 1945 Asli, Perusahaan Negara dan Danantara

SISTEM ekonomi kapitalisme-liberalisme telah merajalela, bahkan memporak-porandakan sendi-sendi berbangsa dan bernegara suatu negara yang memiliki platform sendiri. Tidak terkecuali, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang didirikan atas perjuangan melawan kolonialisme-imperialisme dengan semangat senasib sepenanggungan.
Bahkan, Ideologi NKRI dan Konstitusi UUD 1945 telah diobrak-abrik sesuka hati oleh sebuah gerakan reformasi yang pada awalnya bertujuan menolak pemerintahan sah Presiden RI Soeharto.
Apa hendak dikata sejarah reformasi itu telah terjadi dan berbagai perubahan UU sektoral yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 asli tetap berlaku. Lalu, bagaimana halnya dengan Pasal 33 UUD 1945, posisi Perusahaan Negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Danantara?
Sistem Ekonomi Konstitusi/Koperasi
Tata kelola perekonomian dunia telah terbentuk oleh sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme yang memberikan kebebasan individu secara luas sebagai manusia ekonomi atau dikenal dengan istilah homo economicus. Lahirnya gerakan reformasi dilatarbelakangi oleh penerapan sistem ekonomi arus utama (mainstream) dunia ini di Indonesia yang menghasilkan ketimpangan struktural, kemiskinan dan pengangguran. Apalagi, diperburuk oleh lemahnya pengendalian negara atas pengelolaan Sumber Daya Alam strategis. Hal ini terjadi pasca Reformasi 1998 melalui amandemen UUD 1945 yang memberikan keleluasaan bagi korporasi swasta (Taipan) untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak atau terjadi privatisasi harta kekayaan (aset) negara.
Padahal, jelas penguasaan SDA oleh korporasi swasta ini bertentangan dengan konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 2 dan 3. Namun, tidak ayal pergeseran tata kelola ekonomi SDA ini juga disebabkan oleh adanya perubahan drastis dalam tata kelola ketatanegaraan, termasuk sistem politik yang lebih mengakomodasi tata cara liberalisme melalui pemilihan langsung. Pasar bebas, dalam perspektif penguasaan sumber-sumber modal (capital) akhirnya berada dalam penguasaan sebagian kecil orang saja dengan dukungan instrumen politik demokrasi liberalisme. Jelas sekali, terminologi "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan telah dikebiri oleh sebagian kecil para pemilik atau penguasa modal dan kesejahteraan rakyat yang diabaikannya.
Sistem ekonomi konstitusi sebagai dasar kesepakatan bersama (common denominator) berbangsa dan bernegara telah kehilangan ruh ideologi Pancasila. Sebab, kepentingan individu dan sekelompok pengusaha besar atau korporasi swasta (taipan) yang lebih diakomodir dalam partisipasi pembangunan nasional. Bahkan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan nasionalisasi perusahaan swasta asing diera penjajahan Belanda (UU 86 tahun 1958) juga mereka upayakan untuk diambil alih kembali. Melalui berbagai perubahan Undang-Undang (UU) sektoral hal itu mereka lakukan, yaitu UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi (Migas), UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN dan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Tidak cukup hanya dengan UU ini, lalu UU Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian juga diupayakan diganti secara substansial. Padahal, BUMN dan Koperasi adalah soko guru bagi perekonomian nasional merupakan pengejawantahan dari prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan atau bukan orang per orang atau sekelompok orang yang menjadi pemiliknya. Seharusnyalah, dalam era reformasi perbaikan sistemik inilah yang harus dirancang oleh wakil rakyat yang berada di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dan bukan membuka celah lebih lebar bagi sistem kapitalisme-liberalisme yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Yaitu, dengan memperkuat peran dan fungsi BUMN dan Koperasi sebagai satu kesatuan unit yang saling berinteraksi mengelola SDA untuk memajukan perekonomian nasional demi mencapai kemakmuran bersama.
Artinya, DPR RI bersama Presiden Prabowo Subianto perlu menyusun sebuah UU yang mengatur tata kelola perekonomian nasional secara sistemik. Menempatkan berbagai frasa yang terdapat pada ayat 1,2 dan 3 (mengabaikan ayat lainnya) dengan definisi yang lengkap dan jelas terminologinya. Khususnya, kejelasan pembagian cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Batasan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang mana harus dikuasai negara atau menjadi mandat BUMN. Apabila ini tidak tegas dan jelas, tentu terbuka penafsiran jamak (multi tafsir) atau sesuka hati (at will) pemerintah dan akan berdampak pada konflik konstitusi pada kasus-kasus di BUMN.
Kekayaan Negara dan Kasus PertaminaPertanyaannya, bagaimana halnya dengan kehadiran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara)? Apa maksud dan tujuan didirikannya? Setelah merevisi UU 19 tahun 2003 menjadi UU No 1 tahun 2025, lalu Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 (PP 10/2025) tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) juga pada 24 Februari 2025. Kehadiran alas hukum BPI Danantara (meskipun proses formil dan materiilnya dipertanyakan) telah mengubah rekonstruksi hukum pengelolaan BUMN atau perusahaan negara. Beleid ini secara umum mengatur tata kelola Danantara, mulai dari wewenang hingga struktur organisasinya.
Yang mana pada Pasal 2 PP 10/2025 ayat 1 dinyatakan, bahwa dalam melaksanakan pengelolaan BUMN, Presiden melimpahkan sebagian tugas dan kewenangannya kepada badan, dalam hal ini Danantara. Badan ini atau Danantara juga bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Selain itu, Danantara juga melakukan langkah "revolusioner" terkait frasa harta kekayaan (aset) BUMN yang selama ini menjadi polemik publik. Polemik itu terdapat pada perubahan yang signifikan atas pengelolaan dan pengawasan BUMN kaitannya dengan peran dan fungsi Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) sebagai lembaga tinggi pemeriksa (auditor) negara.
Perubahan drastis dalam UU 1/2025 yaitu terdapat pada definisi kekayaan BUMN pada ketentuan awal merupakan kekayaan negara yang dipisahkan menjadi hanya kekayaan BUMN saja. Implikasi dari dihapusnya frasa ini tentu saja menimbulkan konflik konstitusi atas pengelolaan keuangan negara serta menimbulkan ketidakpastian hukum manakala UU 17/2003 masih berlaku. Ketentuan ini diperkuat oleh Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 tertanggal 18 September 2014 yang mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN merupakan kekayaan negara. Dengan berlakunya UU 1/2025 tersebut, maka status kekayaan negara telah berpindah menjadi kekayaan BUMN.
Konsekuensinya, pemeriksaan keuangan negara dalam status kekayaan BUMN penuh tidak lagi menjadi objek pemeriksaan auditor negara atau BPK RI. Maka publik patut bertanya, lalu bagaimana halnya posisi kasus korupsi yang menimpa para pejabat BUMN Pertamina dalam hal ini sub holdingnya PT. Pertamina Patra Niaga (PPN)? Sebab, Kejaksaan Agung RI (Kejagung RI) telah menetapkan 7 (tujuh) tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023. Jumlah kerugian negara berdasarkan perhitungan Kejagung RI mencapai Rp193,7 triliun per tahun atau totalnya Rp968,5 triliun selama 5 (lima) tahun.
Lalu, apakah status tersangka dan penahanan Riva Siahaan (RS) beserta pejabat lainnya mengacu pada UU 19/2003 atau UU 1/2025 beserta PP 10/2025 dengan implikasi hukum masing-masing yang berbeda. Jika status tersangka dan penahanannya berdasar UU 19/2003, maka tentu Kejagung RI harus merujuk pada hasil pemeriksaan BPK RI sebagai auditor negara. Apakah temuan BPK RI pada kasus impor BBM itu terdapat indikasi korupsi atau kerugian negara?
Sedangkan, jika menggunakan UU 1/2025 yang diterapkan pada kasus korupsi Pertamina itu tentu saja kerugian BUMN bukan lagi menjadi kerugian negara akibat telah dihapusnya frasa kekayaan negara yang dipisahkan. Atas dasar hukum apakah Kejagung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah menetapkan status tersangka dan penahanan?
*Penulis adalah Ekonom Konstitusi
© Copyright 2025, All Rights Reserved