Ketua Baznas Sesalkan Diksi 'Uang Zakat" Sebagai Kode Korupsi

Diksi "Uang Zakat" digunakan sebagai kode dalam dugaan kasus korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sangat menyesalkan penggunaan diksi tersebut.
Menurut Ketua Baznas RI, Prof. Noor Achmad, penggunaan diksi tersebut tidak hanya mendegradasi makna zakat yang suci dalam ajaran Islam, tetapi juga merupakan bentuk pelecehan terhadap ajaran agama Islam.
"Zakat merupakan ibadah wajib yang memiliki nilai sosial tinggi, bertujuan untuk membantu mustahik serta mereka yang berhak, dan meningkatkan kesejahteraan umat," kata Noor Achmad dalam keterangan tertulis dikutip Rabu (26/3/2025).
Oleh karena itu, kata Noor, mengaitkannya dengan tindakan kotor dan tercela seperti korupsi merupakan hal yang sangat tidak pantas.
Baznas juga menegaskan bahwa tidak ada uang zakat yang dikorupsi dalam kasus ini. Kesalahan pemahaman dan penyebaran informasi yang kurang tepat di ruang publik telah menimbulkan kesalahpahaman seolah-olah dana zakat yang dikelola oleh lembaga resmi seperti Baznas terlibat dalam tindak pidana tersebut.
"Padahal dalam kasus ini, yang terjadi adalah penggunaan istilah "zakat" sebagai kode komunikasi yang sama sekali tidak berhubungan dengan dana zakat yang sesungguhnya," kata Noor menambahkan.
Baznas berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas dugaan korupsi di LPEI, termasuk motif di balik penggunaan diksi "Uang Zakat" dalam kasus tersebut.
"Diharapkan, ke depan tidak ada lagi pihak yang dengan mudah mencampurkan istilah bersih dan sakral dalam Islam dengan perbuatan yang merusak moral dan merugikan masyarakat," pungkas Noor.
Adanya kode “Uang Zakat” dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) diungkapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Istilah itu muncul ketika direksi LPEI meminta jatah kepada debitur. Jumlah "Uang Zakat" itu diberikan sebesar 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang dicairkan.
"Memang ada namanya 'Uang Zakat' yang diberikan oleh para debitur ini kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut, yaitu besarannya antara 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan," kata Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, awal Maret lalu. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved