Kebudayaan Indonesia Sulit Bersaing dengan Negara Lain

Jelang akhir reformasi, nama Ayu Utami mencuat ke publik. Novelnya yang berjudul ‘Saman’ menjadi perbincangan hangat karena dianggap berani menceritakan kondisi sosial politik Indonesia di bawah tekanan rezim Orde Baru.
Ayu lalu masuk dalam jajaran seniman yang ikut memperjuangan reformasi hingga akhirnya rezim Orde Baru tumbang. Hingga hari ini, Ayu Utami tetap konsisten bersikap kritis dan terus menyuarakan perjuangannya agar kesenian dan kebudayaan di Indonesia terus maju dan mampu bersaing dengan kebudayaan negara lain.
Di acara diskusi budaya bertajuk “Kebudayaan dalam Demokrasi Kita,” yang digelar di Bentara Budaya, akhir Januari lalu, Ayu menjadi salah satu pembicara.
Kali ini dia berkisah tentang kegalauan masa depan seni budaya di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:
Apa hal yang membuat pelaku seni budaya hari ini merasa galau terhadap situasi sosial?
Jadi kegalauan yang menjadi masalah kita hari ini adalah yang kegalauan yang lebih berhubungan dengan masalah struktural. Struktural yang saya maksud di sini adalah suatu tatanan, baik itu formal maupun informal tapi berpengaruh kepada ekosistem kesenian dan kebudayaan di Indonesia.
Jadi buat kita, kegalauan struktural itu begini, dari pengalaman sebagai pelaku seni, menurut saya dan menurut apa yang disampaikan juga oleh teman-teman, sebenarnya apa yang kita miliki sejak tahun 2015-an, mulai ada perhatian dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terhadap para pelaku budaya. Dan itu kita lihat kemudian dengan mereka menciptakan UU untuk memajukan kebudayaan, kemudian turunannya adalah strategi, dan saya kira salah satu puncaknya adalah adanya dana-dana abadi untuk kebudayaan, Dana Indonesia. Nah ini sudah memberikan banyak manfaat pada para pelaku kebudayaan dan kesenian.
Sekarang ada Kementerian Kebudayaan. Apakah dana kebudayaan ini akan berlanjut atau tidak?
Jadi kegalauan kita adalah, apakah satu pencapaian yang menurut teman-teman pelaku budaya sudah didapatkan, akan dilanjutkan atau enggak. Teman-teman pelaku budaya juga boleh merasa galau adalah dari segi jumlah soal alokasi anggaran. Dari 2022, jumlahnya Rp3 triliun. 2023, Rp5 triliun, jumlahnya naik. Tapi 2024, Rp2 triliun. Nah apakah 2025 akan naik atau akan turun, kita tidak tahu karena polanya seperti ini.
Dana Indonesia ini belum pernah ada sebelumnya, dan akhirnya ada. Bagaimana menurut teman-teman pelaku seni budaya?
Saya ingin mengatakan bahwa, dalam sejarah kita, katakanlah dalam sejarah kami para pelaku budaya di zaman Orde Baru, mungkin apa yang kita punya kemarin itu adalah pencapaian tinggi di tingkat nasional, mirip dengan ketika Ali Sadikin pertama kali membuat Dewan Kesenian Jakarta dengan Taman Ismail Marzuki. Jadi sebelumnya tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah, lalu akhirnya ada perhatian.
Indonesia itu penuh dengan orang yang berdedikasi. Jadi kegiatan kebudayaan itu selalu diisi oleh orang yang penuh dengan dedikasi, nah pemerintah itu kadang-kadang mendukung. Tapi sering kali kalau kita melihat sejarah Indonesia, katakanlah tahun 1968-1970, ketika Taman Ismail Marzuki berdiri, saat itu belum ada pusat kesenian sama sekali di Indonesia manapun. Jadi ini menjadi model. Cerah dan bagus, karena Ali Sadikin mengatakan dia tidak mengerti seni dan dia menyerahkan pada orang yang mengerti seni. Dia mempercayakan pada orang yang mengerti untuk membangun.
Tapi kemudian kita tahu, di zaman Tjokropranolo, sistem ini rontok. Taman Ismail Marzuki lalu dikuasai birokrasi dan seniman tidak lagi menguasai seperti sebelumnya. Jadi kita melihat suatu kerontokan, suatu degradasi dari sebuah semangat dan sistem yang dibangun, menjadi semakin jelek dan semakin jelek.
Tahun 1990-an, di tengah represi Orde Baru, banyak kerja kreatif seniman malah muncul. Bagaimana dengan sekarang?
Nah saya ingat di tahun 90-an, kita bisa bilang mungkin itu suatu titik rendah. Tapi pada saat titik rendah itu, orang-orang, individu-individu pelaku kesenian berorganisasi dan belajar membuat sesuatu. Tapi tahun 90-an kita mengenal, orang mulai membikin arts summit, festival, Biennale Jakarta, Indonesian Dance Festival, semua itu muncul tahun 90-an.
Yang ingin saya katakan adalah, dulu zaman Gus Dur, kita ingat ada istilah negara autipilot. Jadi ketika negara itu sama sekali tidak peduli dengan kesenian dan kebudayaan dan mereka sibuk dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan, kita selalu tidak kekurangan orang-orang yang berdedikasi dengan pilihan budayanya.
Tadi diceritakan ada yang berdarah-darah membiayai programnya sendiri, ada juga yang berhasil di masa itu, karena Indonesia belum dianggap negara yang demokratis, berhasil mendapatkan funding dari negara-negara lain, dari Amerika, misalnya. Juga dari Eropa yang merasa perlu untuk menyumbang demokrasi di Indonesia.
Apa saja tantangan yang dihadapi pelaku seni budaya untuk tetap bisa menjaga eksistensinya?
Nah tahun 90-an itu perlu diingat, pada saat itu perlu diingat, terjadi juga peningkatan represi dari pemerintah. Sehingga berdiri organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jurnal Perempuan, dan semacamnya. Jadi saya ingin ingatkan sekali lagi bahwa, ketika pemerintah sedang drop banget, malah muncul swadaya dan kesadaran dari pribadi-pribadi.
Saya, sebagai bagian dari Teater Utan Kayu dan Bentara Budaya, adalah bagian dari yang percaya bahwa kesenian dan kebudayaan itu penting dan kita secara swadaya masing-masing berupaya menciptakan sesuatu. Tetapi ini baru mendapatkan jawaban dari pemerintah itu memang baru pada masa Jokowi. Saat itu Hilman Farid menjadi Dirjen Kebudayaan, dan teman-teman yang lain, akhirnya berhasil membangun sistem yang baru, yaitu UU untuk memajukan sistem kebudayaan. Jadi ini adalah satu hal yang penting.
Sebenarnya, seberapa bergantung para pelaku seni budaya itu kepada Dana Indonesia atau dana-dana kebudayaan dari kementerian atau dari pemerintahan?
Jawabannya adalah ya dan tidak sekaligus. Kita bergantung kalau kita ingin Indonesia bisa bersaing dengan luar negeri, dengan dunia internasional. Karena tidak mungkin sumber daya swadaya ini mampu bersaing dengan Korea, mampu bersaing dengan negara-negara maju. Itu enggak mungkin. Kita saja kalau bikin acara minta bantuan mereka kok.
Jadi, ya kita bergantung. Karena itu kita perlu mendesak pemerintah untuk membereskan masalah ini dengan baik. Tapi jawabannya tidak perlu, kalau kita sekadar berjuang untuk survival. Tapi rasanya sayang banget kalau seni budaya Indonesia hanya untuk survival saja.
Di luar negeri, biasanya ada tiga komponen untuk pendanaan sebuah festival atau sebuah acara kebudayaan atau kesenian. Satu, 30% dari pemerintah pusat, 30% dari pemerintah kota, 30% lagi baru dari swasta. Nah ini harusnya jadi satu yang bisa diusahakan untuk dicapai. Policy macam apa yang bisa dilakukan untuk mencapai proporsi pendanaan seperti ini.
Nah kalau kita dibiarkan kembali lagi seperti ke masa sebelumnya, sebetulnya pemerintah seperti mengembalikan kita pada satu keadaan di mana sebelumnya para pelaku seni dan budaya itu, di mana kami alami seperti masa sebelumnya, bahkan seperti di masa 2000 belasan awal itu adalah terdesak oleh komersialisasi. Misalnya kita meminta dana sumbangan atau sponsor dari perusahaan, mereka selalu bertanya berapa kepala audiencenya. Padahal hal-hal yang bermutu itu enggak selalu mendatangkan jumlah penonton yang banyak. Karena ada market niece juga. Tapi itukan tidak dihargai. Nah ini proses yang bisa dipertimbangkan juga oleh pemerintah untuk dikomersialisasi.
Kemudian ancaman dari kaum intoleran. Kita pernah punya Q Film Festival. Itu menarik, tapi kan tidak bisa berlanjut. Lalu di Utan Kayu, mungkin Kompas dan Bentara Budaya juga pernah mengalami, diserang Front Pembela Islam (FPI).
Jadi itu tantangan besarnya?
Jadi ada tiga hal. Satu, desakan komersialisasi. Kedua, tekanan kaum intoleran, dan ketiga adalah sensor di negara sendiri atau malah pembiaran oleh negara.
Jadi saya kira tiga hal itulah yang membuat galau, dan sayangnya saya belum mendapatkan jawaban yang terlalu jelas, apakah ini akan kembali seperti sebelumnya, atau kita akan maju, kita belum tahu. Tapi saya kira, Indonesia tidak pernah kekurangan orang-orang yang berdedikasi. Tapi akan menjadi keadaan yang menyedihkan jika orang-orang ini dibiarkan berperang sendiri atau memelihara kebudayaan tapi selalu diancam oleh tiga hal besar tersebut. Kita sudah terlalu sering melihat sesuatu yang bagus tapi terus rontok. Kita juga sudah terlalu sering melihat ancaman demokrasi yang transaksional yang akhirnya merontokkan atau meruntuhkan bangunan yang bermutu.
Anda tetap optimistis untuk terus memajukan seni budaya negeri ini?
Saya tetap optimistis, bahwa orang-orang yang berdedikasi itu akan tetap ada, mereka akan tetap berjuang dan merawat kebudayaan. Namun jika pemerintah tetap tidak peduli atau salah kebijakan, karena politik yang transaksional, mungkin kita akan tetap bertahan, tapi tak akan pernah bisa bersaing dengan negara lain di dunia. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved