Gebrakan Dedi Mulyadi Dorong Keadilan Pendidikan Keagamaan

LANGKAH Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam mengevaluasi dana hibah pondok pesantren patut diapresiasi sebagai gebrakan nyata dalam memperbaiki keadilan pendidikan berbasis keagamaan.
Keberanian Dedi Mulyadi membuka ruang audit dan peninjauan langsung ke lapangan, menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan hanya soal kebijakan di atas kertas, melainkan keberanian untuk mengoreksi distorsi yang telah lama terjadi.
Ribuan madrasah kecil di pelosok Jawa Barat, yang selama ini luput dari perhatian, akhirnya mendapat ruang dan peluang untuk mendapatkan haknya secara adil.
Gebrakan Dedi Mulyadi ini sejalan dengan prinsip difference principle dari John Rawls (1971), di mana keadilan diwujudkan dengan memprioritaskan mereka yang paling membutuhkan.
Melalui evaluasi menyeluruh dan skema berbasis kebutuhan riil, Dedi tidak hanya membenahi tata kelola hibah, tetapi juga berupaya memperjuangkan pemerataan kesempatan pendidikan, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Tindakan ini bukan hanya respons terhadap kebutuhan teknis, melainkan juga cermin komitmen moral terhadap masa depan generasi muda Jawa Barat yang perlu mendapatkan akses pendidikan, yang sdlama ini belum tersentuh seluruhnya.
Pada konteks yang lebih luas, upaya yang dilakukan ini menjadi contoh nyata bahwa pemerintahan yang berani memperbaiki tata kelola publik, meski harus menghadapi resistensi, adalah pemerintahan yang berpihak pada rakyat.
Semangat Dedi Mulyadi dalam mengoreksi ketimpangan ini patut diapresiasi dan dijadikan teladan, bahwa keadilan sosial dalam pendidikan hanya bisa diwujudkan melalui kepemimpinan yang tegas, transparan, dan berani mengambil risiko untuk kebaikan bersama.
Gebrakan Dedi Mulyadi dalam mengevaluasi distribusi dana hibah pondok pesantren merepresentasikan salah satu bentuk perubahan kebijakan (policy change) dalam sistem tata kelola pendidikan keagamaan.
Langkah kebijakan yang berangkat dari ketidakpuasan terhadap pola distribusi yang selama ini dianggap tidak adil, di mana lembaga pendidikan besar dan memiliki akses politik, cenderung lebih sering memperoleh prioritas bantuan dibanding madrasah kecil dan berada di wilayah terpencil.
Berbicara konsep punctuated equilibrium theory Baumgartner dan Jones (1993), fenomena ini akan bergejolak di mana sistem kebijakan yang stabil dapat mengalami perubahan tajam ketika ketidakpuasan terhadap status quo mengkristal menjadi tuntutan reformasi.
Namun, dinamika perubahan kebijakan tidak pernah berlangsung linier. Meskipun langkah ini memperoleh dukungan luas dari publik, khususnya organisasi keagamaan besar seperti NU dan Persis, resistensi dari penerima manfaat lama tidak dapat diabaikan.
Menurut Charles E. Lindblom (1959) dalam konsep incrementalism menyatakan bahwa perubahan dalam kebijakan publik umumnya bersifat bertahap karena birokrasi dan berbagai aktor kepentingan lama akan berusaha mempertahankan pola yang menguntungkan.
Akibatnya, akan munculnya kekhawatiran, bahkan ketidakpuasan dari beberapa yayasan besar yang merasa dipinggirkan, merupakan dinamika yang alamiah dalam setiap upaya reformasi distribusi sumber daya.
Langkah evaluasi ini sendiri membawa tantangan konseptual dan implementatif. Dedi Mulyadi sepertinya berupaya menerapkan pendekatan need-based distribution, yang berfokus pada kebutuhan riil lembaga penerima dibandingkan besarnya nama atau kekuatan jaringan politiknya.
Hal tersebut sejalan dengan teori justice based governance yang dikemukakan oleh Pierre dan Peters (2000), di mana alokasi sumber daya publik perlu mempertimbangkan prinsip keadilan substantif, bukan sekadar efisiensi prosedural.
Sehingga, dalam kerangka tersebut, evaluasi yang dilakukan harus memperhatikan dimensi partisipasi publik, verifikasi lapangan, dan transparansi pelaporan agar perbaikan tata kelola yang diharapkan tidak hanya berhenti pada tataran wacana.
Selain tantangan internal, keberhasilan gebrakan ini juga sangat bergantung pada penguatan mekanisme pengawasan eksternal. Sebagaimana ditegaskan dalam good governance framework oleh UNDP (1997), keberlanjutan perubahan kebijakan membutuhkan sistem akuntabilitas publik yang kuat, keterbukaan data, serta penguatan kapasitas lembaga pengelola hibah.
Tanpa kontrol sosial yang efektif, ada risiko bahwa praktik-praktik lama dapat kembali muncul melalui adaptasi baru dari aktor-aktor yang terdampak. Oleh karena itu, pembangunan sistem informasi hibah berbasis digital, keterlibatan LSM pendidikan, serta audit independen harus dijadikan komponen integral dalam fase implementasi evaluasi ke depan.
Gebrakan Dedi Mulyadi ini menarik. Sebab dalam evaluasi dana hibah pondok pesantren tidak hanya menawarkan koreksi terhadap ketimpangan struktural, tetapi juga menjadi laboratorium perubahan tata kelola publik berbasis keadilan sosial.
Ia membuktikan bahwa perubahan kebijakan substantif membutuhkan lebih dari sekadar keberanian politik, seperti memerlukan dukungan sistemik, administrasi engineering, serta penguatan budaya akuntabilitas di tingkat masyarakat.
Tantangan yang muncul adalah sebuah keniscayaan, namun jika ditangani dengan konsistensi dan inovasi kelembagaan, Jawa Barat berpotensi menjadi model nasional dalam perbaikan tata kelola pendidikan keagamaan berbasis inklusivitas dan keadilan.
Tentunya, dinamika yang muncul dari langkah gebrakan evaluasi dana hibah pondok pesantren oleh Dedi Mulyadi tidak bisa dilepaskan dari realitas adanya konflik kepentingan antara penerima manfaat lama dan upaya perbaikan tata kelola distribusi dana hibah berbasis keadilan.
Konflik ini, menurut Burton (1990) dalam Conflict: Resolution and Provention, terjadi karena adanya ketegangan antara kepentingan struktural lama dan perubahan nilai yang dibawa kebijakan baru. Di satu sisi, madrasah kecil dan masyarakat akar rumput melihat gebrakan ini sebagai bentuk keberpihakan nyata, sementara di sisi lain, kelompok yang selama ini dominan merasa tergeser dari posisi yang nyaman.
Kondisi tersebut di atas, diperlukan kedewasaan dan sikap negarawan, guna mencegah konflik ini bereskalasi, perlu pendekatan resolusi yang mengedepankan prinsip win-win solution.
Dialog terbuka antara pemerintah provinsi dengan seluruh stakeholder pesantren menjadi penting. Mekanisme konsultasi dan pendampingan transisi perlu diintensifkan agar setiap lembaga keagamaan memahami bahwa evaluasi bukan sekadar “pemotongan bantuan”, apalagi isu yang berkembang dengan adanya “penghapusan dana hibah pesantren”, melainkan penyesuaian berbasis kebutuhan objektif.
Pendekatan tersebut selaras dengan konsep interest-based negotiation dari Fisher dan Ury (1981) dalam Getting to Yes, yang menekankan pentingnya menggali kepentingan bersama dibanding mempertajam perbedaan posisi.
Harapan publik terhadap resolusi ini juga sangat jelas, yakni masyarakat ingin keterbukaan, keadilan distribusi, dan akuntabilitas penggunaan dana. Publik tidak semata-mata menginginkan pergantian penerima hibah, tetapi perubahan sistemik yang memastikan bahwa dana publik benar-benar digunakan untuk membangun kapasitas pendidikan keagamaan.
Menurut Putnam (1993), keberhasilan kebijakan ini tidak hanya dinilai dari output administratif, tetapi dari sejauh mana masyarakat merasa kepercayaan mereka kepada pemerintah diperkuat melalui praktik yang adil dan transparan.
Lebih dari itu, gebrakan Dedi melalui distribusi hibah ini membuka ruang harapan baru untuk memperkuat sistem pendidikan berbasis pesantren sebagai pilar pembangunan karakter bangsa. Dimana, madrasah kecil mendapatkan akses lebih layak terhadap sumber daya, ekosistem pendidikan akar rumput bisa berkembang lebih inklusif.
Pandangan dan gebrakan Dedi Mulyadi ini berdampak pada penguatan akses jaringan sosial terhadap sektor pendidikan marjinal. Hal ini sejalan dengan gagasan Coleman (1988) tentang social capital theory bahwa investasi di sektor pendidikan kecil dan komunitas lokal akan memperkuat jaringan sosial, solidaritas komunitas, dan resiliensi budaya bangsa di tengah arus globalisasi.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) dan Akademisi Unisma Bekasi
© Copyright 2025, All Rights Reserved