Arab Spring: Antara Harapan dan Krisis Demokrasi Tak Berujung

SALAH satu fenomena politik historis di Timur Tengah, Arab Spring, merupakan gerakan pemberontakan untuk menentang pemerintahan yang berkuasa pada saat itu.
Fenomena ini dimulai dari aksi pembakaran diri Mohamed Bouazizi di Tunisia pada akhir 2010 yang akhirnya menjadi momen bersejarah yang tidak hanya mengguncang wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, tetapi juga menarik perhatian seluruh dunia.
Gelombang protes massal ini dilakukan untuk menuntut keadilan, kebebasan, dan penghapusan otoritarianisme yang telah berakar selama puluhan tahun.
Di negara-negara seperti Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah, Arab Spring menjadi simbol perlawanan terhadap rezim yang menindas sekaligus membuka harapan baru tentang masa depan kondisi politik yang demokratis.
Arab Spring tidak muncul secara tiba-tiba. Fenomena ini merupakan hasil dari kekecewaan terhadap ketimpangan ekonomi, korupsi, dan represi politik.
Mohamed Bouazizi yang merupakan seorang pedagang kaki lima, menjadi simbol ketidakadilan setelah ia melakukan aksi bakar diri untuk memprotes perlakuan yang sangat buruk dari seorang pejabat kota dan aparat. Barang dagangannya disita secara sewenang-wenang dan dia diperlakukan dengan kasar dan tidak manusiawi.
Seperti yang dijelaskan oleh Rodotul Janah (2022), aksi ini memicu gelombang solidaritas dan protes massal di berbagai negara Arab. Negara-negara seperti Mesir, Libya, dan Yaman memperlihatkan pola serupa yaitu rezim yang menggunakan kekuasaan untuk melanggengkan kepentingan elite dan mengabaikan kesejahteraan rakyat.
Martin Beck dan Simone Hüser (2012) mencatat bahwa perlawanan rakyat ini menjadi momentum titik balik dalam menggoyahkan rezim yang selama puluhan tahun tampak tak tergoyahkan.
Namun, akar otoritarianisme yang mendalam membuat banyak negara gagal bertransisi menuju sistem politik yang inklusif dan adil. Ketimpangan ekonomi menjadi salah satu katalis utama dalam fenomena ini.
Di banyak negara Arab, kekayaan lebih terkonsentrasi pada segelintir elite, sementara sebagian besar populasi hidup berada di bawah garis kemiskinan.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) memperburuk situasi ini sehingga memunculkan kemarahan yang membara di masyarakat (Yasmine, 2015). Selain itu, represi politik melumpuhkan ruang publik, membuat rakyat merasa tidak memiliki saluran untuk menyampaikan aspirasi secara aman dan damai.
Dengan kondisi politik tersebut, aksi-aksi massa Arab Spring menjadi ekspresi kolektif dari keinginan untuk merealisasikan perubahan mendasar. Akar-akar revolusi ini juga dipupuk oleh kondisi demografis yang kompleks, di mana tingginya tingkat pengangguran di kalangan generasi muda dan ketidakpuasan terhadap layanan publik yang memperburuk situasi (Abdih, 2011).
Pada saat itu banyak anak muda, meskipun berpendidikan, tidak dapat menemukan pekerjaan yang layak sehingga mereka merasa terpinggirkan dalam struktur sosial-ekonomi yang tidak adil. Kombinasi antara faktor-faktor ekonomi dan represi politik tersebut akhirnya menciptakan atmosfer yang mudah terbakar.
Demokrasi menjadi salah satu aspirasi utama dari Arab Spring, tetapi implementasinya menunjukkan hasil yang beragam. Misalnya di Mesir, revolusi berhasil menggulingkan Hosni Mubarak dan melahirkan pemerintahan demokratis di bawah Mohamed Morsi (Jamilah dam Nanda, 2024).
Sayangnya, pemerintahan ini hanya bertahan singkat sebelum digulingkan oleh militer. Kurangnya kesiapan institusional dan masyarakat untuk mendukung demokrasi, serta pengaruh eksternal yang signifikan, menjadi penyebab utama kegagalan ini (Sahide dan Satris, 2021).
Sebaliknya, Tunisia menunjukkan kemajuan yang lebih baik. Negara ini berhasil membentuk pemerintahan demokratis yang stabil melalui dialog nasional dan konsensus politik. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan transisi demokrasi sangat bergantung pada konteks lokal, termasuk kesiapan masyarakat dan keberadaan institusi yang mampu mendukung perubahan politik.
Demokrasi yang dimaksud bukan hanya sekadar soal terealisasinya pemilihan umum. Georg Sorensen (2008) berpendapat bahwa demokrasi membutuhkan proses konsolidasi yang panjang dan stabilitas sosial-ekonomi untuk berhasil.
Dalam banyak kasus di Timur Tengah, transisi demokrasi terganjal oleh fragmentasi politik dan konflik sektarian. Fragmentasi ini diperparah oleh pengaruh kepentingan luar negeri yang sering kali menempatkan agenda geopolitik di atas aspirasi rakyat lokal.
Selain itu, budaya politik yang belum mendukung pluralisme juga menjadi tantangan di mana demokrasi membutuhkan ruang untuk dialog dan kompromi, namun di banyak negara Arab, ketegangan sektarian dan etnis sering kali memperumit proses ini sehingga membuat banyak negara yang memulai transisi demokrasi akhirnya kembali terjerembab ke dalam otoritarianisme atau konflik internal.
Pengalaman Indonesia setelah reformasi sering dijadikan contoh oleh para ahli sebagai model demokrasi yang relevan untuk negara-negara dengan mayoritas muslim.
Menurut Sahide dan Satris (2021), Mesir dan negara-negara Arab lainnya dapat belajar dari keberhasilan Indonesia dalam membangun institusi demokrasi yang inklusif setelah masa otoritarianisme.
Setelah reformasi 1998, Indonesia beralih dari rezim otoriter militeristik ke sistem demokrasi yang stabil. Pemilu bebas dan adil telah diadakan secara konsisten sejak 1999, dengan lima pemilu yang berhasil hingga saat ini.
Keberhasilan ini tidak lepas dari peran masyarakat sipil yang kuat, terutama organisasi berbasis Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi ini meskipun besar dan memiliki pengaruh, tidak mencari kekuasaan politik langsung tetapi berfokus pada pembangunan masyarakat yang berbasis nilai-nilai Islam dan demokrasi.
Mereka juga memainkan peran penting dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip demokrasi dengan budaya dan agama lokal, menciptakan lingkungan yang mendukung pluralisme dan hak asasi manusia.
Di sisi lain, militer Indonesia kembali fokus kepada tugasnya dan tidak lagi tidak lagi terlibat langsung dalam politik yang memungkinkan pemerintahan sipil berjalan tanpa campur tangan militer, suatu langkah penting untuk memperkuat demokrasi.
Pengakuan internasional atas keberhasilan demokrasi Indonesia juga menunjukkan pentingnya model ini. Salah satunya Hillary Clinton, mantan Menteri Luar Negeri AS, pernah menyatakan bahwa Indonesia adalah bukti bahwa Islam, demokrasi, modernitas, dan hak-hak perempuan dapat hidup berdampingan (Kawilarang, 2009).
Indonesia dan Mesir memiliki sejumlah kesamaan yang membuat pengalaman Indonesia relevan untuk dipelajari. Keduanya adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim, tetapi Indonesia berhasil menerapkan sistem demokrasi sementara Mesir belum dapat menerapkan sistem tersebut.
Peran masyarakat sipil di Indonesia sangat kontras dengan situasi di Mesir, di mana Ikhwanul Muslimin lebih berfokus pada membangun negara Islam daripada membangun masyarakat Islam yang inklusif.
Keberhasilan Indonesia dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan demokrasi memberikan pelajaran penting bahwa demokrasi dapat berfungsi di negara mayoritas muslim tanpa harus mengorbankan nilai-nilai agama. Ini menunjukkan bahwa hambatan utama bukanlah agama itu sendiri, tetapi bagaimana nilai-nilai agama diterjemahkan dalam politik.
Meskipun model Indonesia memiliki banyak keunggulan, ada tantangan besar dalam mentransfer pengalaman ini ke negara-negara Arab seperti Mesir. Salah satu hambatan utama adalah perbedaan sejarah politik dan struktur sosial.
Militer Mesir memiliki pengaruh yang jauh lebih kuat dibandingkan militer Indonesia pasca-reformasi, sehingga sulit untuk mendorong mereka meninggalkan arena politik.
Selain itu, kurangnya organisasi masyarakat sipil yang independen dan inklusif di Mesir membuat proses konsolidasi demokrasi semakin sulit.
Indonesia memiliki Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang mampu menjembatani nilai-nilai agama dan demokrasi (Sahide & Satris, 2021).
Dalam konteks Mesir, membangun masyarakat sipil yang inklusif akan menjadi langkah awal yang sangat penting. Dari sisi diplomasi, peran Indonesia dalam mendukung transformasi demokrasi di dunia Arab juga masih terbatas.
Meskipun ada inisiatif seperti dialog antara akademisi dan diplomat Indonesia dan Mesir pada 2011, upaya ini perlu diperluas untuk memberikan dampak yang lebih besar.
Arab Spring telah membuka jalan bagi transformasi politik di Timur Tengah, namun perjalanan untuk menuju demokrasi yang dilalui masih panjang.
Seperti yang diungkapkan oleh Martin Beck dan Simone Hüser (2012), Arab Spring menciptakan peningkatan diversitas politik di wilayah ini, dengan beberapa negara menunjukkan tanda-tanda transisi, sementara yang lain tetap terjebak dalam konflik atau kembali ke otoritarianisme.
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana negara-negara Arab mengatasi konflik internal, membangun institusi yang kuat, dan menciptakan stabilitas ekonomi.
Demokrasi tidak hanya membutuhkan pemilihan umum yang adil, tetapi juga reformasi struktural yang memastikan partisipasi rakyat dan akuntabilitas pemerintah.
Dengan melihat dari pengalaman negara lain seperti Indonesia dan memanfaatkan teknologi untuk memperkuat masyarakat sipil, ada harapan bahwa perubahan yang diinginkan akhirnya dapat terwujud.
Namun, keberlanjutan perubahan ini sangat tergantung pada komitmen pemimpin lokal dan keberanian masyarakat untuk terus memperjuangkan kebebasan dan keadilan.
Dalam menghadapi tekanan geopolitik dan tantangan internal, Arab Spring dapat menjadi momentum bagi negara-negara Timur Tengah untuk menciptakan sistem politik yang lebih inklusif dan berkeadilan.
*Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung
© Copyright 2025, All Rights Reserved