Perempuan, Politik, dan Ekonomi

SETIAP tanggal 21 April 2025, bangsa ini mengenang Raden Ajeng Kartini, pelopor emansipasi perempuan yang pikirannya melampaui zamannya. Namun Hari Kartini bukan sekadar upacara tahunan atau simbol historis.
Bagi saya, seorang perempuan dan politisi, ini adalah panggilan untuk refleksi dan tindakan: bagaimana kita memastikan perjuangan Kartini benar-benar menjelma menjadi kebijakan yang mengangkat harkat dan martabat perempuan Indonesia—di ruang publik, politik, dan ekonomi.
Di tengah hiruk-pikuk isu ketimpangan gender, ada fakta yang sering luput dari perhatian: kehadiran perempuan dalam politik dan ekonomi bukan hanya soal keadilan, tetapi juga strategi pembangunan yang cerdas.
Berbagai riset global menunjukkan bahwa partisipasi perempuan berkorelasi dengan peningkatan integritas pemerintahan, efisiensi ekonomi, dan kualitas hidup masyarakat. Sudah waktunya kita tidak hanya melibatkan perempuan, tetapi mempercayakan mereka sebagai aktor utama perubahan.
Transparency International (2019) menyebutkan bahwa negara-negara dengan representasi perempuan tinggi di parlemen cenderung memiliki indeks korupsi lebih rendah. Rwanda, misalnya—negara dengan 61 persen anggota parlemen perempuan—berhasil menurunkan tingkat korupsi publik hingga 50 persen dalam dua dekade.
Di India, studi Beaman et al. (2012) mencatat bahwa desa-desa yang dipimpin perempuan menunjukkan akuntabilitas pengeluaran publik 20 persen lebih tinggi dibandingkan desa yang dipimpin laki-laki.
Fenomena ini bukan kebetulan. Sosialisasi gender pada perempuan seringkali menanamkan nilai kehati-hatian, empati, dan tanggung jawab kolektif—nilai-nilai yang memperkuat integritas. Bahkan di sektor bisnis, penelitian Peterson Institute (2016) menunjukkan bahwa perusahaan dengan lebih dari 30 persen perempuan di jajaran direksi mengalami kebocoran anggaran 15 persen lebih rendah dibandingkan perusahaan yang dikelola laki-laki secara eksklusif.
Bank Dunia (2021) menghitung bahwa ketimpangan partisipasi ekonomi antara laki-laki dan perempuan menyebabkan kerugian global hingga $160 triliun. Sebaliknya, jika kesenjangan ini ditutup, negara-negara berkembang berpotensi mengalami lonjakan PDB per kapita hingga 20 persen dalam satu dekade.
Norwegia menjadi contoh, di mana kebijakan kuota 40 persen perempuan di dewan perusahaan menghasilkan lonjakan produktivitas korporasi sebesar 10 persen hanya dalam lima tahun.
UN Women (2020) juga mencatat bahwa 70 persen anggaran yang dikelola perempuan di tingkat lokal digunakan untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial, sektor-sektor fundamental dalam pembangunan manusia.
Di Indonesia, riset LPEM UI (2023) menemukan bahwa daerah dengan kepala desa perempuan memiliki tingkat partisipasi sekolah anak perempuan 12% lebih tinggi dan prevalensi stunting 8 persen lebih rendah dibanding daerah lainnya.
Kritik klasik yang menyebut perempuan “tidak tegas” atau “terlalu emosional” tidak didukung oleh data.
Studi Harvard Business Review (2021) terhadap 60.000 pemimpin di 10 negara menunjukkan bahwa perempuan lebih unggul dalam 13 dari 16 kompetensi kunci, termasuk kemampuan berkomunikasi, berpikir strategis, serta mengelola krisis. Selama pandemi Covid-19, negara-negara yang dipimpin perempuan seperti Selandia Baru dan Taiwan terbukti mampu menekan tingkat kematian hingga 40 persen lebih rendah dari rata-rata global.
Kartini tidak pernah duduk di kursi kekuasaan, tapi gagasan-gagasannya menjadi fondasi perjuangan perempuan Indonesia hari ini. Kini saatnya kita menerjemahkan semangat Kartini ke dalam kebijakan nyata dan strategi pembangunan jangka panjang, seperti:
Kuota Progresif: Meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen dari 30% menuju 50%, seperti yang diterapkan Uni Emirat Arab. Representasi yang seimbang menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Akses Pendanaan untuk UMKM Perempuan: Hanya 2% usaha perempuan di Indonesia yang mendapat akses kredit formal (OJK, 2023). Kita perlu kebijakan afirmatif untuk menghapus hambatan struktural ini.
Pendidikan Politik dan Kepemimpinan: Mendirikan sekolah-sekolah kepemimpinan perempuan dari tingkat desa hingga nasional untuk menyiapkan generasi pemimpin masa depan yang inklusif dan berintegritas.
Investasi pada Perempuan adalah Investasi untuk Bonus Demografi 2045
Mengabaikan potensi perempuan dalam politik dan ekonomi sama dengan menyia-nyiakan setengah dari potensi terbaik bangsa ini. Kartini telah menyalakan api kesetaraan, tugas kita adalah menjaga nyalanya agar terus menyinari jalan menuju Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat.
Seperti kata Melinda Gates: “When we invest in women, we invest in the people who invest in everyone else.”
Sudah waktunya kita berhenti sekadar memperingati, dan mulai bertindak, demi Indonesia Emas 2045.
*Penulis adalah Politisi PAN yang aktif sebagai Anggota Komisi I DPR
© Copyright 2025, All Rights Reserved