Gabungan kelompok nelayan dari seluruh Indonesia kembali mengeluhkan sejumlah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) yang dinilai menyengsarakan nelayan. Mereka mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk panitia khusus (pansus) hak angket terkait nelayan.
Keluhan itu terkait peraturan yang dibuat Menteri Kelautan dan Perikanan yang dinilai menyulitkan mereka. Di antaranya, PermenKP Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelarangan Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan serta Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan di Wilayah Perikanan Republik Indonesia.
“Peraturan tersebut diberlakukan tanpa sosialisasi. Sehingga menjadikan perekonomian nelayan tidak jelas dan tidak sedikit dari nelayan yang masuk penjara akibat melanggar aturan. Padalah KKP didirikan untuk mensejahterakan nelayan tetapi sekarang malah menyengsarakan nelayan," kata Hadi Santoro Ketua Koperasi Unit Desa Karya Mina Tegal kepada politikindonesia.com di Gedung DPR RI, Senin (22/05).
Menurutnya, di Tegal saat ini ada sekitar 34 usaha produk budidaya perikanan seperti filet, gesekan dan industri surimi yang mengalami mati suri. Karena bahan baku tidak ada. Akhirnya, dirinya bersama nelayan lain mendatangi DPR untuk menyuarakan pencabutan PermenKP yang merugikan nelayan. Sebab, bukan hanya cantrang saja tetapi juga para nelayan kepiting dan lobster sudah dirugikan dengan peraturan tersebut
"Kalau memang yang di salahkan nelayan, seharusnya kementrian membuat rambu rambu kusus lobster dan ikan cucut. Karena selama ini nelayan di Tegal menangkap ikan dengan jaring. Jadi kami ingin PermenKP yang merugikan nelayana dicabut. Apalagi banyak juga nelayan di Tegal yang sudah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya dari melaut dengan menggunakan cantrang. Tapi sekarang harus menerima kondisi pahit dengan diterbitkannya Permen KP Nomor 71/2016," ujarnya.
Diceritakannya, banyak juga dari mereka yang nekat menggunakan cantrang, tetapi pasti berakhir dipenjara. Saat ini banyak anak nelayan di Tegal putus sekolah karena orangtuanya tidak mampu lagi membayar biaya sekolah.
"Dengan cantrang biasanya sekali melaut kita bisa membawa Rp150 ribu ke rumah, tetapi dengan jaring insang (gill net) hasil tangkapan turun drastis, hanya bisa bawa Rp50 ribu saja sudah bagus," katanya
Hal senada juga diungkapkan, Bani Amin, seorang nelayan asal Kalimantan Barat, dalam membuat peraturan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak pernah mengajak nelayan atau pelaku usaha untuk berdiskusi mengenai dampak dari kebijakan yang dikeluarkan. Bukan itu saja, Susi juga tidak memberikan solusi pengganti atas larangan yang dikeluarkan oleh peraturan yang dibuatnya. Menteri langsung melarang tapi tidak pernah menawarkan solusi pengganti atas larangannya.
"Misalnya, Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan di Wilayah Perikanan Republik Indonesia, Bu Susi tidak pernah mengajak nelayan untuk diskusi. Sehingga alat tangkap yang mereka gunakan seperti cantrang dan alat tangkap sejenis disebutkan sebagai perusak ekosistem," tuturnya.
Pihaknya pun berani menantang Bu Susi untuk melakukan survei dan melaut bersama menggunakan jaring cantrang. Kalau memang cantrang itu merusak ekosistem, pihaknya sepakat dengan pemerintah untuk mengganti alat tangkap ramah lingkungan.
"Kami juga menyayangkan kebijakan yang dikeluarkan Bu Susi, kini ribuan nelayan di Kalimantan Barat menjadi pengangguran. Bahkan ada yang nekat untuk menerabas Permen KP Nomor 71/2016, tetapi semuanya berakhir di penjara. Sudah ratusan nelayan masuk jeruji besi karena menabrak aturan itu. Mereka terpaksa berbuat nekat daripada harus melihat keluarganya kelaparan," tegas Amin.
Sementara itu Suhaja Effendi yang merupakan perwakilan nelayan Sukabumi, Jawa Barat, mengatakan larangan penjualan bibit lobster merupakan kebijakan konyol sehingga membunuh nelayan, khususnya di daerah Sukabumi. Karena sebagian besar nelayan menggantungkan hidup dari mencari lobster. Akhirnya, banyak warga yang memilih melanggar aturan dibandingkan harus melihat keluarganya kelaparan.
"Sampai saat ini ekspor benur ke Singapuran dan Vietnam masih terus berjalan, bahkan eskpornya bisa mencapai 2 ton per panen. Para petani menjual benih Rp48 ribu per ekor dengan ukuran 100 gram. Kalau lagi apes dan ketahuan sama polisi yang mereka langsung dijebloskan ke penjara. Kalau mau keluar harus ditebus. Saat ini sekitar 9 warga Sukabumi masih berada di dalam tahanan. Mereka tertangkap tangan menangkap dan menjual benih lobster kepada pengepul. Tetapi pengepulnya tidak ditangkap, ini aneh," tandasnya.
Mendapat keluhan tersebut, Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan mengatakan terkait dengan Permen No 71 tahun 2016 dan Permen No 5 Tahun 2015 memang sudah mengalami 3 kali penundaan. Karena dalam sejarah Indonesia merdeka, ini adalah pertama kalinya nelayan beraksi. Aksi ini menandai lonceng kematian untuk nelayan. Sehingga Komisi IV sepakat untuk membuat Hak Angket.
"Semua fraksi di Komisi IV sudah menyatakan setuju, kecuali Fraksi Gerindra yang masih meminta melakukan dialog sekali lagi. Jadi bukan berarti Gerindra tidak setuju. Walau begitu, dalam waktu dekat kami tetap akan membawa permasalah yang sudah 3 tahun ini terjadi ke rapat paripurna," kata politisi PKB tersebut.
Dijelaskan, alasannya menggelar hak angket lantaran hak angket dapat mengungkap fakta yang dirasakan nelayan akibat kebijakan Bu Susi. Sehingga bisa menghasilkan tim independen dan meluruskan seluruh permen yang mempunyai dampak tragis terhadap nelayan.
"Seharusnya dalam membuat aturan Bu Susi sudah mengetahui dampak besar yang akan ditimbulkan dari kebijakannya. Karena kebijakan yang dikeluarkan saat ini bukan mensejahterakan nelayan dan pembudidaya perikanan ataupun kemajuan sektor usaha perikanan. Kebijakan pemerintah itu harusnya untuk membangun, meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian, baik daerah maupun pusat. Kalau kebijakan hanya buat sengsara banyak orang, lebih baik dicabut," tandas Daniel.
© Copyright 2024, All Rights Reserved