Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah organisasi jurnalis yang memiliki lebih dari 1800 anggota di seluruh Indonesia baru saja selesai melakukan kongres. Organisasi yang sudah berdiri sejak 30 tahun lalu itu masih eksis hingga sekarang.
AJI terkenal sebagai organisasi dengan spirit perlawanan pada ancaman kebebasan berpendapat, kebebasan bersuara, ancaman terhadap demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), juga diskriminasi.
Organisasi yang berdiri sejak rezim Ode Baru, punya andil dalam memberi warna pada perubahan besar di negara ini, salah satunya adalah mendorong adanya Uji Kompetensi Wartawan untuk menjaga kredibilas dan integritas jurnalis.
Setelah 30 tahun, kali ini AJI kembali memilih perempuan untuk menakhodai organisasi bercorak maskulin ini.
Perempuan bernama Nani Afrida ini adalah jurnalis yang berasal dari Aceh. Dia terjun langsung merasakan tsunami Aceh tahun 2004, pernah berurusan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan sederet liputan berat lainnya.
Saat ini Nani Affrida menjabat sebagai Pemimpin Redaksi di independen.id, media yang dikelola oleh AJI untuk menjadi media yang berbeda dengan media arus utama. Nani Afrida Bersama Bayu Wardana akan menjaga dan mengawal AJI untuk periode 2024-2027.
Lalu apa saja yang akan dilakukan Nani untuk menjaga iklim jurnalisme di tengah gempuran disrupsi, rendahnya kesejahteraan jurnalis, dan pemerintahan baru? Berikut wawancara Endah Lismartini dari politikindonesia.id dengan Nani Afrida, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Apa saja yang akan Anda lakukan selama memimpin AJI tiga tahun ke depan? Apa yang menjadi prioritas?
Prioritas tetap sesuai dengan Tri Panji AJI; kebebasan pers, kesejahteraan dan profesionalisme. Namun ada satu target tambahan dalam program kami yaitu kemandirian AJI Kota. Keempat prioritas itu akan diturunkan menjadi program-program yang dirasa perlu, terutama program yang melekatkan kembali semua anggota AJI pada nilai ke-AJI-an dan juga kebersamaan. Komunikasi juga akan ditingkatkan antara AJI kota dengan AJI Nasional.
Apa saja problem besar yang dihadapi media dan jurnalis saat ini?
Disrupsi media. Ada yang bertanya ke saya sewaktu mencalonkan diri, kenapa masih mau berusaha jadi ketua AJI padahal media banyak yang tutup dan jurnalis banyak yang di-PHK (pemutusan hubungan kera). Tetapi memang kami tidak bisa lari dari kenyataan ini. Adanya internet, media sosial dan makin cepatnya informasi disebarkan memang membuat jurnalis yang masih konvensional tersengal-sengal untuk bertahan. Namun kami tetap harus mencari jalan keluar yang paling baik, bagaimana tetap bertahan dan bisa sejahtera sebagai jurnalis.
Kemarin Anda mengusung tagar #AJIBersatu. Apa yang akan dilakukan untuk merealisasikan itu?
Menciptakan kebersamaan dengan semua anggota AJI. Saatnya AJI tidak lagi berpikir hanya lingkup kota masing-masing atau karena tujuan masing-masing, tetapi mulai berpikir secara kesatuan. Ini adalah modal besar AJI dalam menghadapi tantangan eksternal yang lebih serius.
Di era gempuran media sosial, yang sekarang dianggap bisa mengambilalih sebagian kerja jurnalis, dimana publik tak bisa membedakan kerja-kerja jurnalis dengan laporan media sosial. Apa yang perlu dilakukan teman-teman jurnalis untuk menghadapi persaingan tersebut?
Kreativitas is a must. Selain itu menaikkan profesionalisme. Memang butuh proses, namun saya percaya di masa depan orang akan lebih membutuhkan informasi yang akurat dan bisa dipercaya dibanding informasi yang cepat. Jurnalis juga harus lebih peka dengan liputan-liputan yang tidak mungkin dibuat oleh AI atau media sosial, misalnya jurnalisme indepth, investigasi dan jurnalisme solusi.
Kerja jurnalis yang berat sering kali tak sepadan dengan upah yang layak. Apa permasalahannya sehingga perusahaan media tak mampu memberi upah yang layak untuk jurnalisnya?
Pertama: Kita harus berhenti berpikir bahwa jurnalis itu tidak berhak upah yang layak dan bahkan upah yang tinggi. Persepsi bahwa jurnalis bisa dibayar murah dan rendah itu sudah mengakar di kepala semua orang, dan jadi pembenaran para pemilik media memberikan upah kecil. Bandingkan upah jurnalis Indonesia dengan jurnalis di negara luar. Itu tandanya profesi jurnalis sebenarnya pekerjaan yang patut diberi jerih tinggi. Ketika sebuah media berani mempekerjakan jurnalis, itu tandanya dia harus siap membayar layak dan mencukupi semua hak-haknya sebagai pekerja.
Kedua, upah layak di semua daerah itu berbeda-beda. Kami berencana akan membuat survei upah layak di setiap AJI Kota dan menjadikan upah itu sebagai standar pengajian jurnalis. Jadi pihak media tidak bisa membuat standar upah sesuka mereka.
Jelang kongres AJI ramai isu tentang kesejahteraan jurnalis. Selain berharap gaji layak dari perusahaan media, apa saja yang bisa dilakukan jurnalis untuk tetap sejahtera dan mampu melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas?
Isu kesejahteraan jurnalis adalah satu-satunya dari Tri Panji AJI yang belum ada solusinya. Namun Nani-Bayu akan mulai mencari resep khusus untuk tujuan ini. Koperasi adalah salah satu cara yang patut diuji. Koperasi bisa digunakan anggotanya supaya terhindar dari jeratan piutang berbunga besar, untuk modal usaha atau membeli alat kerja. Cara lain adalah mendirikan sekolah jurnalistik di AJI kota, dan anggota AJI bisa mendapatkan manfaat dengan menjadi trainernya.
Setiap AJI Kota punya keunikan masing-masing dan kami harus bisa menemukan resep untuk masing-masing AJI Kota.
Bagaimana AJI menghadapi gelombang PHK akibat disrupsi?
Tidak ada yang bisa menghindari disrupsi media dan PHK. Namun AJI akan meningkatkan kapasitas jurnalisnya dengan training dan pelatihan sehingga kemampuan mereka akan bertambah. Kalau pun terjaring PHK, setidaknya bisa mendapatkan tempat kerja baru dengan penuh percaya diri karena kemampuannya sudah meningkat. Atau bisa bertahan dari PHK dengan skill yang dimilikinya itu.
AJI tidak mungkin memberikan pekerjaan untuk anggota yang terkena PHK, namun AJI bisa membantu anggotanya untuk mendapatkan hak dari perusahaan dan memastikan mereka diperlakukan adil oleh perusahaan.
Apa yang akan dilakukan AJI menghadapi ancaman represi di era pemerintahan baru?
Sesuai dengan yang biasa dilakukan AJI, berbagai cara. Bisa diplomasi, bisa kampanye dan bisa dengan aksi. Namun kami melihat pola represi berubah dari ancaman fisik ke ancaman lewat undang-undang. Produk hukum ini harus diadvokasi bersama-sama dengan masyarakat sipil lainnya.
AJI sudah ada sejak 30 tahun lalu. Apalagi yang ingin Anda lakukan agar AJI tetap menjadi organisasi yang disegani dan didengarkan?
Konsistensi dan komitmen adalah dua hal yang dilakukan AJI hingga saat ini. Dengan berpegang pada dua hal itu AJI bisa bertahan bahkan saat disrupsi media dan banyaknya kasus kekerasan pada wartawan yang cukup masif. AJI juga memiliki prinsip kuat dengan anggota yang militan. Terbukti AJI menjadi organisasi yang cukup dianggap di tataran nasional dan internasional. Bahkan PBB juga menjadikan AJI sebagai salah satu lembaga yang dimintai masukan terkait kebebasan berpendapat di Indonesia. Sebagai ketua AJI, saya akan menjalankan hal-hal yang sudah bagus dan meningkatkan hal-hal yang masih kurang.
AJI terkenal sebagai organisasi yang menjunjung tinggi nilai, etika dan moral. Apa yang akan Anda lakukan untuk memastikan tiga prinsip itu masih jadi pegangan anggota dan apa yang akan Anda lakukan jika terjadi pelanggaran?
Menjadi anggota AJI itu panggilan dan biasanya tidak mudah. Namun saya percaya semua anggota AJI punya standar nyaris sama terkait nilai, etika dan moral.
Kami juga akan membuat kurikulum ke-AJI-an dan diterapkan di semua kota. Nilai ke-AJI-an ini sangat penting untuk anggota AJI, terutama yang baru. Di sana ada nilai, etika dan moral. Kami akan melakukan pendidikan dan kesadaran terlebih dahulu. Kalau tetap melanggar? Kami punya Majelis Etik dan Pengadilan Organisasi (MEPO). Bila terjadi pelanggaran, maka MEPO akan memutuskan. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved