Jumlah apoteker yang dipekerjakan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) masih minim. Hingga saat ini, baru sekitar 20 persen Puskesmas yang memiliki tenaga apoteker meski masyarakat yang dilayani jumlahnya bisa mencapai jutaan.
Sekjen Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Nofrendri Rustam, mengatakan peran tenaga apoteker dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih terabaikan. Padahal fungsi utama apoteker untuk memastikan obat yang diresepkan dokter, rasional dan memastikan pasien memahami penggunaannya secara tepat.
“Selama ini JKN lebih menekankan kepada layanan medis oleh dokter, yaitu memeriksa, menegakkan diagnosa, menuliskan resep, lalu diserahkan ke apoteker. Tenaga apoteker belum dilibatkan secara optimal dalam sistem ini, terutama di fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktek swasta," katanya kepada politikindonesia.com saat jumpa pers pelaksanaan Pertemuan Imiah Tahunan (PIT) dan Rapar Kerja Nasional (Rakernas) IAI yang akan diadakan di Banten pada 5-8 September 2017.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) IAI, Nurul Falah Edi Pariang, menambahkan, apoteker tidak dihitung dalam sistem biaya JKN, jadi selama ini lebih sebagai penjual obat. Apoteker diberi jasa berdasarkan harga obat. Padahal, berapa pun harga obatnya jasa kefarmasian tetap sama.
"Sebetulnya, ini tidak proporsional. Apalagi mengingat dalam prakteknya sama seperti dokter praktek swasta dan klinik. Apoteker juga harus membayar tempat, listrik, karyawan, dan lainnya. Komponen yang harus dibayar ini tidak tergantung pada harga obat," ujarnya.
Dia menjelaskan, untuk saat ini pihaknya masih memahami keterbatasan pemerintah maupun Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Selain pemerintah harus mengejar deadline untuk melaksanakan BPJS, iuran peserta pun belum keekonomian dan belum semua peserta mendaftarkan diri.
"Namun, ke depan, kami meminta supaya ada kolaborasi praktek antara tenaga kesehatan, yaitu mulai dari dokter, perawat, apoteker, hingga bidan. Kolaborasi ini harus dihargai secara proporsional melalui penetapan kapitasi parsial, yaitu dokter menerima kapitasi untuk jasa medis, apoteker untuk obat dan layanan kefarmasian, perawat serta bidan untuk asuhan keperawatan," paparnya.
Dengan mendapatkan haknya masing-masing, lanjutnya, tidak ada lagi alasan bagi tenaga kesehatan untuk memberikan layanan tidak berkualitas kepada pasien. Karena itu, meskipun dokter memiliki kemampuan untuk terapi menggunakan obat atau farmakoterapi, keberadaan apoteker tetap diperlukan untuk mereview obat-obat yang diberikan agar rasional.
"Kalau tidak menggunakan kolaborasi praktek dikhawatirkan terjadi inefisiensi. Sehinggga mutu layanan dan pengobatan pasien berkurang. Misalnya, obat sakit kepala diberikan 2-3 tablet, padahal seharusnya diminum selama sakit kepala, paling tidak 2 hari atau 6 kali minum. Pasien tidak sembuh, berkunjung lagi ke dokter," ulasnya.
Menurutnya, peraturan yang berlaku menyebutkan, sebagian tugas dan wewenang seorang apoteker di layanan kesehatan dasar seperti Puskesmas bisa digantikan oleh tenaga teknis kefarmasian. Namun, seperti halnya layanan kesehatan lainnya tiap Puskesmas idealnya memiliki seorang tenaga apoteker. Tenaga ini diharapkan bisa bermitra dengan dokter untuk menentukan terapi yang paling manjur, aman dan berkualitas bagi pasien.
"Dari sisi sumber daya manusia, jumlah apoteker memadai dan siap didayagunakan. Namun, kondisi ideal seperti yang diharapkan tampaknya masih jauh dari kenyataan. Padahal saat ini ada sekitar 70.000 apoteker yang teregistrasi dengan laju pertumbuhan mencapai 3.000 apoteker baru tiap tahun. Jumlah tersebut dianggap sudah cukup untuk mengisi Puskesmas di seluruh Indonesia," imbuhnya.
Namun diakuinya, tidak banyak apoteker yang juga tidak berminat kerja di Puskesmas. Meski demikian, pihaknya optimistis bahwa dalam beberapa tahun ke depan jumlah apoteker yang mau bekerja di Puskesmas akan terus meningkat. Pihaknya tidak merinci upaya apa yang sudah dilakukan agar para apoteker mau bekerja di Puskesmas
"Ketersediaan tenaga apoteker di Puskesmas juga pernah kami diskusikan dengan menteri kesehatan. Sehingga untuk kedepan, pelayanan pemberian obat kepada pasien di Puskesmas harus dilayani oleh apoteker. Apalagi keberadaan tenaga apoteker di Puskesmas telah diakomodir dalam PP 51 tahun 1999 yang telah diundangkan. Dengan demikian peran dan fungsi apoteker dalam penyediaan jasa kefarmasian akan lebih jelas dalam pelayanan kesehatan," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved