Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta semua pihak yang terlibat dalam sengketa perbatasan negara di Laut Cina Selatan, tidak memandang kawasan itu sebagai wilayah konflik. Laut Cina Selatan harus dipandang sebagai sebuah wilayah kerja sama yang berpotensi untuk memberikan keuntungan kepada semua pihak.
“Semua negara yang terlibat di Laut Cina Selatan meski mendapatkan keuntungan dari Declaration of Conduct (DoC) untuk semua pihak di Laut China Selatan,” ujar Presiden SBY setelah menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Tsinghua, Beijing, Jumat (23/03).
Kata SBY, pihak-pihak yang berselisih harus memanfaatkan momentum disepakatinya panduan perilaku para pihak di Laut Cina Selatan. Panduan perilaku akan mendorong terbentuknya kode etik perilaku (Code of Conduct/CoC) negara-negara di sekitar kawasan tersebut. “Saya berharap, CoC ini dapat disepakati dalam waktu yang tidak terlalu lama," ujar Presiden.
Mengomentari hal tersebut, kepada politikindonesia.com, Dr. Connie Rahakundini Bakrie, M.Si, salah satu Dewan Pembina Indonesia Maritime Institute (IMI), mengatakan, dari dulu hingga hari ini, Laut Cina Selatan telah menjadi hotspot global. Lembaga internasional melihat wilayah itu sebagai global flaspoint yang memiliki potensi sebagai trigger baru yang dapat memicu konflik luas di Kawasan Asia.
"Langkah membangun perdamaian dan menyepakai berbagai mekanisme resolusi konflik akan memberikan kontribusi untuk penyelesaian perselisihan ini," ungkap Connie di Jakarta, Minggu (25/03).
Sejak tahun 1990-an, banyak upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara di kawasan ini untuk menstabilkan situasi. Upaya ini telah menghasilkan Deklarasi ASEAN tentang Laut Cina Selatan pada tahun 1992 dan kemudian berlanjut ke Deklarasi ASEAN-China tentang Declaration on the Conduct of Parties di Laut Cina Selatan ( DoC) pada tahun 2002. DoC ini merupakan langkah pertama menuju pembentukan Kode Etik (CoC) di Laut Cina Selatan, yang telah didiskusikan selama lebih dari satu dekade.
“DoC Laut China Selatan pada tahun 2002, didasarkan pada dimensi multilateral, serta pada konvergensi pandangan mengenai kebutuhan untuk mengelola sengketa secara damai. Deklarasi ini hanya merupakan kesepakatan politik sementara," ujar Connie.
DoC tersebut dibahas dalam seminar internasional yang berjudul "ASEAN dan HUT ke-10 DoC," ujar Connie yang juga tampil sebagai pembicara dalam seminar yang diselenggarakan bersama oleh Pusat Studi Strategis Asia-India (CASS-India), New Delhi, India dan Institut Kamboja untuk Kerjasama dan Perdamaian ( CICP) pada 22 Maret di Phnom Penh, Kamboja.
Seperti diketahui, DoC pertama kali diangkat tahun 2002 di Phnom Penh, ketika Kamboja berperan sebagai Ketua ASEAN, dan sekarang, setelah 10 tahun, banyak pihak berharap dicapai pendekatan yang kuat terhadap resolusi konflik Laut Selatan Cina.
Kata Connie, untuk mencegah potensi konflik bersenjata di Laut Cina Selatan, sepatutnya China mendukung secepatnya untuk merealisasikan sebuah Kode Etik (CoC) untuk menggantikan DoC tersebut.
"CoC akan lebih mengikat secara hukum dan etik yang akan mendorong semua pihak untuk menahan diri dari aksi kekerasan atau tindakan pemaksaan lainnya dalam menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan," ungkap Connie.
Connie menyadari, mengubah DoC menjadi CoC tidak akan mudah. Sangat mungkin, akan ada negosiasi alot pada penyusunan CoC. Namun, pada bulan Juli 2011 di Bali, pedoman untuk menuju CoC sudah dibuat. “Ada kebutuhan ASEAN untuk membuat sebuah aturan perilaku di Laut China Selatan.”
Memang, Laut Cina Selatan yang berada di barat daya Pasifik, baik secara regional maupun internasional merupakan salah satu rute tersibuk di dunia perdagangan internasional. Kawasan ini berisi lebih dari 100 pulau-pulau kecil dan terumbu karang yang tersebar di 158.000 mil persegi tanah. Termasuk Kepulauan Spratly yang diklaim seluruhnya atau sebagian oleh China, Filipina, Brunei, Malaysia, Vietnam dan Taiwan.
Kawasan ini diyakini mengandung ikan, cadangan minyak dan gas alam. Anggota ASEAN telah menandatangani janji tidak mengikat pada 2002 yang menyatakan, mereka akan menyelesaikan sengketa Laut China Selatan secara damai.
Bentrokan angkatan laut antar negara-negara di Laut China Selatan sering terjadi, khususnya di kawasan Spratly dan Kepulauan Paracel. Bentrokan tersebut telah membuat wilayah itu menjadi sumber ketegangan bagi kawasan.
Di era globalisasi, pembangunan ekonomi menjadi salah satu tujuan nasional bagi negara-negara yang bertetangga di Asia, terutama kawasan ASEAN, yang tengah mengalami kemajuan pesat dalam pembangunan ekonomi.
Dengan kondisi seperti itu, kekuatan laut memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi. Ini telah menyebabkan negara-negara di kawasan untuk memajukan kepentingan mereka bersaing kedaulatan teritorial laut di wilayah ini.
© Copyright 2024, All Rights Reserved