Istilah Sensitifitas kembali digunakan untuk dijadikan dalih menjaga hubungan diplomatik antar negara. Setidaknya itu yang berkembangan dalam kekinian antara Singapura dan Indonesia. Pertanyaannya, sejauhmana rasa sensitifitas itu perlu dijaga? Lantas pihak mana yang tidak menjaga sensitifitas itu? Siapa yang memulai?
Ketika Indonesia memberi nama tiga kapal perang baru kelas multi-role light, KRI Usman Harun, KRI Bung Tomo, dan KRI John Lie, melalui Menteri Luar Negeri Singapura, K. Shanmugam merasa keberatan. Ini merupakan pertanda, bahwa negeri jiran itu mulai ikut campur dalam urusan dalam negeri pemerintah Indonesia. Khususnya, terkait nama KRI Usman Harun.
Lantas, soal nama Usman Harun kah yang sebenarnya dipermasalahkan Singapura? Atau soal kehadiran kekuatan armada laut baru Indonesia? Atau soal pihak yang menjadi pembuat kapal perangnya?
Untuk dua pertanyaan terakhir, tentu bisa saja menjadi alasan sesungguhnya atas rasa tidak sukanya Singapura . Apalagi, sebagai negara kepulauan, selama ini Indonesia memang belum begitu kokoh dalam membangun armada lautnya, bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Kehadiran tiga KRI baru buatan Inggris ini, seandaianya ditempatkan di kawasan Selat Malaka, tentu menjadi pertambahan kekuatan armada yang sudah ada selama ini disana. Setidaknya akan lebih mampu menjaga kekayaan laut Indonesia yang kerap dicuri.
Bisa jadi, penambahan kekuatan armada laut Indonesia akan mengusik negara bekas koloni Inggris itu. Sebab, dengan kuatnya armada pertahanan laut Indonesia, tentu menjadi tidak mudah bagi negara manapun untuk melanggar kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kita tahu, sejak Sir Stamford Raffles mendirikan sebuah pelabuhan Inggris di situ, Singapura menjadi pelabuhan yang strategis di tengah-tengah jalur perdagangan di antara India dan Cina dan menjadi salah satu pelabuhan penting di dunia. Dan ini tidak kalah strategisnya dengan kepulauan Indonesia yang ada di wilayah Kepulauan Riau.
Sejarah mencatat, pada masa silam sekitar abad ke 14, pulau Singapura merupakan sebagian dari kerajaan Sriwijaya dan dikenal sebagai Temasek (Kota Laut).
Dipercayai bahwa Singapura merupakan pusat pemerintahan kerajaan Melayu sebelum diduduki oleh Sir Stamford Raffles. Berdasarkan tulisan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi tercatat, ketika Singapura dibersihkan, bukit yang terdapat di situ telah dikenali sebagai bukit larangan, dan terdapat banyak pohon buah yang ditanam di situ. Ini menunjukkan adanya pusat administrasi di situ.
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi turut menyatakan ditemukannya sebuah batu bersurat yang mempunyai ukiran tulisan yang tidak dikenali dan telah kabur. Prasasti Singapura itu menunjukkan Singapura telah menjadi sebuah pusat administrasi sejak lama, sebelum tibanya pihak Inggris. Malangnya prasasti itu telah dimusnahkan.
Menyambung pertanyaan berikutnya, pembuat tiga KRI terbaru adalah Inggris. Sah-sah saja bila Singapura ada ketidaksukaan terhadap Inggris yang rela tiga kapal perang kelas multi-role light sampai dimiliki Indonesia -- Ingat, dalam membangun kekuatan pertahanan udara, Indonesia pernah di embargo Amerika Serikat dan kroninya. Nah Singapura, sebelum menjadi Singapura yang sekarang, merupakan koloni Inggris.
Bila memang hanya persoalan nama Usman Harun yang melekat di lambung KRI, tentu saja Singapura tak patut mengutak-utiknya. Sebab, KRI merupakan salah satu simbol eksistensi NKRI. Dan setiap pemberian nama KRI, bagi pemerintah Indonesia ada tata cara dan prosedurnya.
"Penamaan kapal perang itu kan melalui suatu proses, dan itu wewenang kita. Kita sudah menyampaikan kepada mereka. Masalahnya sudah selesai," ujar Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia.
"Penetapan nama Usman Harun sebagai nama kapal perang RI sudah sesuai peraturan, prosedur, kriteria dan proses yang matang, sudah tetap dan tidak akan diubah," tegas Purnomo Yusgiantoro, Menteri Pertahanan Indonesia.
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan, pemerintah Indonesia menghargai sikap Singapura yang prihatin atas penamaan KRI Usman Harun. Akan tetapi, Indonesia mempunyai penilaian tersendiri.
“Pemerintah Indonesia memiliki tatanan, aturan, prosedur dan kriteria penilaian sendiri untuk menentukan seseorang mendapat kehormatan sebagai pahlawan. Dan itu tidak boleh ada intervensi dari negara lain," jelas Djoko.
Kata Djoko, pemberian nama Usman Harun pada kapal perang RI sudah melalui berbagai pertimbangan. “Tentu pertimbangan tersebut dinilai sesuai dengan bobot pengabdian dan pengorbanan mereka-mereka yang "deserve" untuk mendapatkan kehormatan dan gelar itu."
Dijelaskan Djoko pula, dirinya secara khusus juga sudah menyampaikan penjelasan ke Wakil Perdana Menteri Singapura Theo Chee Hean tentang posisi dan argumentasi penamaan KRI Usman Harun tersebut.
“Pemerintah Indonesia dalam hal ini TNI AL punya otoritas dan pertimbangan yang matang untuk memberikan penghormatan kepada pahlawannya untuk diabadikan di sejumlah kapal perang RI, seperti halnya nama-nama pahlawan yang lain," jelas Djoko.
“PM Lee Kuan Yew pada 1973 sudah menabur bunga ke makam Usman dan Harun di TMP Kalibata. Jadi seharusnya sudah tidak ada permasalahan lagi terkait isu ini," ujar Djoko.
Sebagai negara yang berdaulat dan bertetangga, Indonesia sudah melakukan hal-hal yang cukup menunjukkan tata krama dalam pergaulan internasional kepada Singapura. Mengapa pihak Singapura masih mengutak-utik soal penamaan KRI ini?
Setelah Menteri Luar Negerinya, kini Menteri Pembangunan Sosial dan Keluarga, Chan Chun Sing yang juga Menteri Muda Pertahanan Singapura menyatakan kekecewaannya terhadap reaksi para pemimpin Indonesia melalui laman facebooknya.
Dalam tulisan di laman Facebooknya, Jumat (7/02) dan dikutip Channel News Asia, Chan menyebut pernyataan pemimpin Indonesia itu mencerminkan kurangnya sensitivitas, kurangnya kepedulian terhadap hubungan bilateral yang baik, atau keduanya.
Dia menulis,"Hubungan kedua negara dibangun dengan hati-hati selama bertahun-tahun."
"Meskipun episode gelap Konfrontasi dan pemboman McDonald House, para pemimpin kita Mr Lee Kuan Yew dan Pak Suharto telah menunjukkan kenegarawanan yang besar untuk menutup saat-saat sulit itu dan mengantar pada kerja sama era baru yang saling menguntungkan."
Chan berharap generasi baru pemimpin Indonesia akan menampilkan kepemimpinan dan kebijaksanaan yang sama untuk menempatkan hubungan bilateral sebagai yang terpenting, dan menahan diri dari melakukan sesuatu untuk membuka kembali luka lama dan menyakiti hubungan yang telah dibangun dengan hati-hati.
Chan berharap para pemimpin Indonesia tidak akan mengorbankan hubungan bilateral kedua negara yang dibangun dengan sangat hati-hati.
Dari pernyataan ini, kembali timbul pertanyaan, apa maksudnya Chan membanding-bandingkan era pemerintahan Presiden Soeharto dengan era pemerintahan saat ini? Siapa yang tidak sensitif? Siapa yang ikut campur dalam urusan negara lain?
Bangsa Indonesia mengerti, nama KRI Usman Harun itu berasal dari gabungan dua nama yakni, Sersan Usman Haji Mohamed Ali dan Kopral Harun Said. Keduanya adalah anggota KKO (Komando Korps Operasi) yang sekarang berganti nama Korps Marinir. Keduanya telah diakui sebagai pahlawan nasional.
Usman dan Harun pernah menyusup ke Singapura saat terjadinya konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia tahun 1962-1966. Keduanya kemudian ditangkap Singapura atas tuduhan pengeboman di MacDonald House di Orchrad Road pada Maret 1965. Lantas, pada 17 Oktober 1968, mereka diesekusi mati oleh negara jiran itu.
Saat jenazahnya tiba di Tanah Air, keduanya dielu-elukan sebagai pahlawan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Dan pada tahun 1973, Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew menabur bunga ke makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Justru perlu dipertanyakan, mengapa pemimpin Singapura saat ini tidak seperti Lee Kuan Yew yang justru menunjukkan rasa sensitifitasnya?
Sikap Singapura tidak berhenti sebatas itu. Terkini, melalui atase pertahanan Indonesia, pihak Singapura membatalkan undangan bagi delegasi Indonesia di acara Singapore Airshow pekan depan.
"Tim Jupiter udah dikirim ke sana untuk tampil, tapi sekarang diperintahkan kembali karena berita itu," kata Brigjen Sisriadi, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhan di Jakarta.
Tentu kita tak ingin berspekulasi dengan menebak-nebak tingkah laku pejabat Singapura. Namun, ada sebuah kondisi politik yang juga terjadi saat ini, yakni hubungan Indonesia dengan Australia yang sedang menghangat. Diniatkan atau tidak, maka timbul spekulasi, Singapura ingin meniru Australia untuk menghangatkan hubungannya dengan Indonesia. Jangan-jangan ada konspirasi Australia dan Singapura ingin “menjepit” Indonesia dari atas dan bawah.
Semoga spekulasi ini tidak benar. Seandainya pun benar, tentu Indonesia akan siap menghadapi seburuk apapun situasi yang akan terjadi. Pemerintah Indonesia beserta rakyatnya, tentu dengan harga mati mempertahanakan kedaulatan NKRI.
© Copyright 2024, All Rights Reserved