Keberhasilan Indonesia dalam mengimplementasikan Pancasila baru sebatas mengkonsolidasikan negara dalam politik keamanan untuk perang melawan musuh. Seperti, menumpas pemberontakan PKI, menyelesaikan RMS dan GAM. Namun, Indonesia belum berhasil sepenuhnya berhasil mengimplementasikan Pancasila dalam demokrasi politik, dalam menegakkan supermasi hukum.
Pendapat itu disampaikan Guru Besar Ekonomi- Politik Institut Pertanian Bogor Prof. Didin S Damanhuri disela-sela diskusi bersama Aliansi Kebangsaan bertema "Pancasila Sebagai Nilai Dasar Dalam Acuan Perumusan Kebijakan Negara" di Jakarta, Sabtu (24/09).
Pancasila sebagai kekuatan ideologis, tak bisa hanya bersifat doktriner dan normatif seperti yang terjadi selama ini. "Ideologi Pancasila harus ditransformasikan menjadi ideologi terbuka dengan memasukan kontribusi ilmu pengetahuan, tekonologi dan agama untuk memperbaiki keadaan masyarakat secara rasional dan terbuka," ujar dia.
Didin berpandangan, hingga saat ini model pembangunan Indonesia belum sepenuhnya memasukkan nilai-nilai Pancasila. Di era reformasi ini, Indonesia justru semakin mengadopsi neoliberalism - kapitalism.
Dimana, terjadi proses debirokratisasi dan privatisasi yang exessif. Dalih mengefisienkan pemerintahan dan BUMN, mesin pertumbuhan diserahkan kepada swasta.
Akibatnya, ujar dia, negara makin terlihat tidak berdaya dalam memerankan peran sebagai regulator. Apalagi menjalankan tugasnya sebagai pengoreksi pasar agar terjadi keadilan sosial.
"Negara bahkan dikendalikan lobi-lobi konglomerat hitam dari dalam negeri serta multinational corporation (MNC) secara global. Pihak swasta pun tak kunjung menciptakan kesempatan kerja penuh, efisiensi dan berdaya saing, baik di pusat maupun daerah," ungkapnya.
Didin menambahkan, justru yang menjadi persoalan, cara pendekatan statis dan pragmastiis yang tak berupaya mengaitkannya dengan kandungan nilai-nilai Pancasila.
Hal ini membuat ketahanan nasional menjadi rapuh. Model pembangunan tak memiliki identitas sebagai model pembangunan berbasis ideologi negara yaitu Pancasila. Proses pembangunan lebih didasari kepada pendekatan progmatis dan ad hoc dengan mengadopsi neoliberal dan kapitalis. "Seharusnya, model pembangunan negara ini dengan mereaktualisasikan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi modal sosial."
Didin membandingkan. Lain halnya dengan negara-negara Barat dimana pendekatan ideologinya hanya disumbangkan dari ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), karena negara tersebut berazaskan sekularisme.
Negara-negara di Asia tak menganut sekularisme. "Sumbangan Iptek dan agama publik, telah menjadikan negara-negara di Asia memiliki model pembangunan yang khas," ujar dia.
Ia menyakini, apabila Indonesia mengembangkan model pembangunan berbasis ideologi terbuka dengan sumbangan agama publik dan Iptek, akan dapat menciptakan ketahanan nasional yang tangguh.
Perkembangan Iptek yang tepat guna dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam proses pembangunan untuk menciptakan daya saing bangsa yang unggul secara global. Dengan begitu, ketahanan nasional yang tercipta akan lebih memiliki daya saing terhadap berbagai ancaman.
"Ancaman itu akan datang bukan saja dari luar tapi juga dari dalam negeri. Di sinilah peran hukum nasional sangat dibutuhkan dalam alam demokrasi. Pada alam pemerintahan otoriter, peran represi dan paksaan untuk mencapai tujuan tertentu menjadi sangat dominan. Sementara pada alam demokrasi dimana pun di dunia, persan supremasi hukum menjasi conditio sine quanon," paparnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved