Rasanya, krisis demi krisis mengancam kita. Seperti sekarang ini, dengan terkereknya harga minyak dunia, akibat besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang menggelayuti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), keuangan negara bisa rontok. Pilihan langkah pemerintah dan DPR tentunya, praktis saja, mencabut atau mengurangi pos subsidi BBM dalam APBN. Dampaknya, kenaikan harga BBM (premium dan solar) diyakini akan terjadi.
Selama ini, subsidi atas premium dan solar memang diperuntukkan bagi rakyat Indonesia berpenghasilan rendah. Sayangnya, praktik-praktik penyaluran dan pendistribusiannya tidak terkontrol secara baik oleh para pihak yang bertanggungjawab melakukan itu. Faktanya, solar dan premium yang dibandrol dengan harga Rp4.500 per liter, porsinya sedikit sekali dinikmati oleh mereka yang berhak menerima subsidi.
Bila para aparatur pemerintah atau pihak yang bertanggungjawab terhadap penyaluran BBM bersubsidi benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar, tentu kasus para nelayan untuk mengoperasikan kapal tangkapnya, tidak membeli solar dengan harga Rp5.500 – Rp6.000 per liter. Fakta ini begitu telanjang, ambil saja contoh yang terjadi di Kelompok Nelayan, Kecamatan Anyer, Propinsi Banten yang baru saja diangkat menjadi salah satu binaan Indonesia Maritime Institute (IMI). Kondisi serupa juga terjadi di tempat lain dan bisa jadi mereka membelinya dengan harga yang lebih mahal.
Jalur distribusi “dimanfaatkan” secara sempurna oleh berbagai pihak. Rantai “izin pengecer” menjadi pintu efektif untuk membeli solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Ini sudah menjadi rahasia umum dipelbagai daerah. Sehingga nelayan dengan meringis dan terpaksa harus membeli solar dari pengecer dengan harga selangit. Nelayan tak bisa langsung membeli solar di SPBU. Selain karena jaraknya yang jauh, juga disebabkan mereka tidak memiliki “kartu kuning” yang menjadi kartu sakti itu. Padahal nelayan membawa surat kapal dan izin tangkap ke SPBU, tetap saja ditolak.
Jadi, siapa sebenarnya sosok penerima dan penikmat subsidi BBM yang begitu besar diberikan pemerintah itu? Bila demikian, langkah mengurangi subsidi BBM memang menjadi pilihan yang baik. Tentu saja, kontrol yang ketat harus juga dilakukan terhadap proses subsidi lainnya agar tak ada penyimpangan.
Memang dampak pengurangan atas subsidi BBM bisa begitu dalam dan meluas, sehingga terapi pemecahannya pun seolah tak ada yang mujarab. Namun, kita harus realisitis menyikapinya. Pernahkah didalam pikiran kita untuk menduga, bahwa subsidi BBM atau lainnya, menjadi "bancakan" pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab?
Krisis ekonomi tentu tidak berdiri sendiri. Antara antara krisis satu dengan lainnya, saling tali temali. Dan ini yang membuatnya menjadi parah.
Krisis politik memicu krisis ekonomi dan selanjutnya mengilhami terjadinya krisis sosial. Begitu juga sebaliknya. Krisis tersebut semuanya bermuara pada hilangnya kepercayaan (losing trust) antara sesama komponen bangsa. Krisis yang kita alami kini, bukan sekedar krisis politik yang ingin menggerogoti legitimasi pemerintah, tetapi bisa membuka peluang untuk menggoyang fondasi persatuan bangsa.
Terasa sekali elemen persatuan kita mulai tergerus daya rekatnya. Kita tidak berharap, pilar kesatuan bangsa ini akan goyah. Tentu, tagline kebersamaan jangan hanya sebagai slogan dan agenda di atas kertas dan podium belaka. Jangan jadikan tagline kebersamaan sebagai retorika buat keuntungan politik belaka.
Agenda bringing back the trust (kembalikan kepercayaan) antara semua elemen bangsa, atau yang memiliki kaitan dengan krisis yang ada, perlu terus direalisasikan. Kita harus mengembalikan kepercayaan antara suku yang saling berseberangan paham. Kita harus mengembalikan kepercayaan antara orang Islam dan non-Islam yang ikut bertikai. Kita harus mengembalikan kepercayaan antara orang-orang Orde Baru dan kaum yang mengklaim diri sebagai kaum reformis. Kita harus mengembalikan kepercayaan antara warga negara dengan aparat negara. Kita harus mengembalikan kepercayaan antara warga negara dengan pihak swasta, dan antara warga negera satu dengan warga negara lainnya.
Di sinilah hulu persoalan dan pangkal masalah kita. Kepercayaan antara satu dengan lainnya mulai pudar. Maka tak mengherankan, agenda gosip mudah menjalar, fitnah gampang berhembus, tuding menuding jadi menu keseharian. Ujung-ujungnya, tindakan melanggar hukum dijadikan barang halal.
Yusuf Yazid
© Copyright 2024, All Rights Reserved