Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai upaya untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai pembatasan kebebasan berekspresi yang melawan konstitusi Indonesia saat ini. Pasal itu perlu dihapus karena tidak sejalan dengan sistem demokrasi yang ada.
"Dihapus saja. Kalau tidak, Ini sama saja menempatkan Presiden sama dengan raja yang tidak bisa dikritik," kata peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar kepada pers, Kamis (25/05).
Menurut Wahyudi, Presiden Indonesia adalah seorang kepala pemerintahan yang layak dan perlu dikritik. Kritik menjadi bentuk kontrol publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
MK pun telah membatalkan pasal penghinaan presiden. Dalam putusannya, MK mengingatkan untuk tidak menghidupkan kembali aturan tersebut.
"Jadi mestinya DPR dan pemerintah mematuhi putusan itu. Karena bagaimana pun MK (Mahkamah Konstitusi) adalah penafsir resmi konstitusi Indonesia hari ini," ujar dia.
Wahyudi mengatakan, saat ini paradigma kolonialistik masih tertanam kuat dalam penyusunan rancangan tersebut. Padahal, semangat untuk merevisi KUHP bertujuan agar Indonesia dapat keluar dari warisan kolonialisme.)
Kasus-kasus penghinaan presiden juga tidak pernah muncul lagi pasca MK membatalkan pasal tersebut. "Artinya tanpa pasal itu pun martabat Presiden sebagai kepala negara masih bisa dijaga," kata Wahyudi.
Di dalam Pasal 264 RUU KUHP tertulis, "setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidanan dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak katagori IV" .
Ruang lingkup penghinaan presiden pun diperluas lewat RUU KUHP Pasal 264. Mereka yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar,hingga memperdengarkan rekaman berisi Presiden atau Wakil Presiden juga bisa dijerat dengan pasal itu.
Pada tahun 2015, MK memutuskan bahwa pasal 134, 136, dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
© Copyright 2024, All Rights Reserved