Komisi Ombudsman Republik Indonesia harus terbebas dari perwakilan partai-partai politik. Sebanyak 9 komisioner baru nanti tidak boleh perwakilan parpol, harus mewakili rakyat. Karena itu, pemilihan Komisioner Ombudsman harus transparan, partisipatif, dan profesional.

"Meskipun dipilih DPR, Komisioner Ombudsman harus mewakili rakyat, bukan perwakilan parpol," ujar Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Nasokah di Jakarta, kemarin.

Kehadiran perwakilan partai di Ombudsman akan mengerdilkan lembaga pengawasan pelayanan publik ini. Hal itu dapat menurunkan kualitas pelayanan publik pemerintah kepada masyarakat.

Karena itu, Nasokah berpendapat masyarakat harus turut serta dalam mengawasi pelayanan publik oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Karena itulah, anggota Komisi Ombudsman harus nmemiliki kemampuan komunikasi publik guna meningkatkan kepercayaan dan partisipasi aktif masyarakat.

"Diperlukan sosialisasi ke masyarakat dan pemerintah. Ini diperlukan untuk mengajak masyarakat turut mengawasi pelayanan publik," tegasnya.

Kemampuan mengembangkan jaringan ke lembaga-lembaga pemerintahan pun harus diperkuat. Pasalnya, Ombudsman tidak dapat menjatuhkan sanksi kepada lembaga-lembaga yang melanggar standar pelayanan publik.

"Tidak ada kewenangan memberikan sanksi. Jadi harus berkordinasi ke masing-masing lembaga untuk memastikan rekomendasi Ombudsman berjalan baik," katanya.

Di samping itu, penurunan kualitas pelayanan publik pun kemudian membuka kesempatan korupsi di masing-masing lembaga.

Peneliti Junior Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Ahmad Fawaiq Suwanan juga mengingatkan pada 2010, dari sekitar 5.000 pengaduan, hanya 1.154 yang diproses. Ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam melakukan pengawasan pelayanan publik.

MTI juga menyoroti minimnya anggaran Ombudsman RI. Pada 2010 anggaran untuk lembaga ini hanya berkisar Rp16 miliar. Padahal, banyak agenda dan kebutuhan dalam mendukung pengawasan pelayanan publik.